MAKALAH
BELAJAR BERDASARKAN MASALAH (BBM)
IKMT – GIZI
SKENARIO Rawannya Oh Generasi Penerus
...
Oleh:
KELOMPOK IV
M. Ridho
Fadillah
|
I1A111036
|
Meidiandini Ayu
Fatimah
|
I1A111015
|
Meka Hardianti
|
I1A111057
|
Mira Surya
Ramadhani
|
I1A111021
|
Najla
|
I1A111074
|
Muhammad Fariz
|
I1A111066
|
Vina Yulia
Anhar
|
I1A111215
|
Sajalianor
|
I1A109216
|
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Skenario
Rawannya Oh Generasi
Penerus ...
Hasil
survey kadar Hb di 3 kabupaten kota di Kalimantan Selatan, ditemukan bahwa
prevalensi anemia pada remaja puteri sebesar 60,3 % (diatas angka nasional).
Jika dilihat dari tingkat pendidikan dan sosial ekonomi ke tiga daerah tersebut
tergolong baik. Mengapa kondisi ini dapat terjadi ?
B.
Analisa
Kasus
1.
Langkah 1. Klarifikasi/ Identifikasi Istilah (Clarify Term)
a. Identifikasi
Istilah :
1) Hb
2) Anemia
3) Remaja
4) Prevalensi
b. Klarifikasi
Istilah :
1) Hb
adalah hemoglobin yang terdapat di dalam sel darah yang mengikat oksigen.
2) Penasun
adalah kadar Hb di dalam darah lebih rendah dari keadaan normal.
3) Remaja
adalah anak muda berusia 12-24 tahun. Untuk remaja puteri adalah anak muda
(puteri) berusia 10-18 tahun.
4) Prevalensi
adalah angka kejadian penyakit. Berdasarkan skenario “Rawannya Oh Generasi Penerus ...”, prevalensi adalah angka kejadian
penyakit anemia pada remaja puteri.
2.
Langkah 2 Membuat
Daftar Masalah (Define The Problem)
a. Berapa
kadar Hb normal ?
b. Mengapa
hanya remaja puteri yang dibahas pada skenario “Rawannya Oh Generasi Penerus ...” ?
c. Apa
hubungan anemia dengan remaja puteri ?
d. Apa
yang menjadi penyebab anemia pada skenario “Rawannya
Oh Generasi Penerus ...” ?
e. Apa
gejala anemia pada remaja puteri ?
f. Bagaimana
cara mendiagnosis remaja puteri yang terkena anemia?
g. Apa
hubungan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi terhadap anemia pada remaja
puteri ?
h. Apa
dampak yang ditimbulkan akibat anemia pada remaja puteri ?
i.
Mengapa prevalensi
anemia pada remaja puteri tinggi ?
j.
Bagaimana pencegahan
dan penanggulangan anemia pada remaja puteri?
k. Apa
intervensi dari Pemerintah terhadap kejadian anemia remaja puteri ?
3.
Langkah
3. Menganalisis Masalah (Analyze the
Problems)
a. Kadar
Hb normal untuk wanita yaitu 12 gr/100 ml, ibu hamil yaitu 11 gr/ 100 ml, dan laki-laki
yaitu 13 gr/100 ml.
b. Hanya
remaja puteri yang dibahas pada skenario ini dikarenakan mereka merupakan
kelompok yang rentan terhadap anemia. Remaja puteri sedang mengalami proses
pertumbuhan disertai dengan siklus reproduksi yang memerlukan zat besi lebih
banyak. Remaja puteri mengalami menstruasi, di mana mereka memerlukan zat besi
3 kali lebih tinggi. Pada saat menstruasi, remaja puteri banyak mengeluarkan
darah. Hal ini mengindikasikan bahwa, jika zat besi yang dimiliki kurang, maka
remaja puteri rentan terkena anemia.
c. Hubungannya
adalah terdapat faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian anemia pada
remaja puteri, yaitu menstruasi. Remaja puteri sedang mengalami pertumbuhan
fisik yang lebih pesat dari sebelumnya. Apabila kekurangan zat gizi mikro (zat
besi), maka kadar Hb dalam darah akan terganggu. Gangguan yang ditimbulkan
tersebut akan berpengaruh terhadap siklus menstruasi yang berakibat pada kejadian
anemia.
d. Penyebab
anemia pada skenario yaitu dikarenakan konsumsi makanan nabati yang tinggi,
sehingga asupan Fe tidak terpenuhi. Kemudian, remaja puteri memiliki kebiasaan
melakukan diet. Menstruasi termasuk menjadi penyebab anemia, karena remaja puteri
memerlukan zat besi 3 kali lebih tinggi. Adanya penyakit kronis, penyakit infeksi,
perilaku (menganggap remeh masalah anemia) dan penyerapan nutrisi yang tidak
baik juga menjadi penyebab anemia pada remaja puteri.
e. Gejala
anemia pada remaja puteri, antara lain :
1) 5
L (lemah, lelah, letih, lesu, lunglai)
2) Mudah
mengantuk
3) Bibir
pucat
4) Pusing
5) Sakit
kepala
6) Hilangnya
nafsu makan
7) Mata
berkunang-kunang
f.
Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi gejala anemia dan
melalui pemeriksaan hematokrit (pemeriksaan laboratorium).
g.
Tentu berhubungan. Status pendidikan (terutama pengetahuan ibu) dan
sosial ekonomi yang baik, akan berdampak pada penurunan kejadian anemia. Namun,
walaupun sudah mendapatkan pengetahuan tentang anemia, remaja puteri menanggap
remeh tentang anemia. Selain itu, walaupun tingkat pendidikan sudah baik, namun
gaya hidup remaja puteri yang terbiasa mengonsumsi makanan fast food juga berpengaruh terhadap kejadian anemia.
h.
Dampak dari anemia pada remaja puteri yaitu pertumbuhan fisik (tinggi
badan) tidak maksimal, terjadi penurunan IQ, dan kecacatan. Selain itu, remaja
puteri sebagai calon ibu, anemia juga akan berpengaruh pada kehamilannya
(preeklamsia dan keguguran) serta bayi yang dikandungnya (BBLR). Kejadian
anemia pada remaja puteri ini juga berpengaruh terhadap kemakmuran negara.
i.
Prevalensi anemia pada remaja puteri tinggi disebabkan oleh faktor
risiko anemia seperti gaya hidup dan pola konsumsi remaja puteri (fast food).
j.
Tindakan yang yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menangani anemia
pada remaja puteri, antara lain :
1)
Mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi
2)
Mengonsumsi makanan yang mengandung vitamin C
3)
Mengonsumsi TTD (Tablet Tambah Darah)
k.
Intervensi dari Pemerintah dalam menangani kejadian anemia pada remaja
puteri, antara lain :
1)
Pemberian edukasi tentang anemia di sekolah
2)
Tersedianya pojok gizi di Puskesmas
3)
Pemberian TTD (Tablet Tambah Darah) pada remaja puteri
4)
Kerjasama lintas sektoral (seperti penanganan penyakit infeksi)
5)
Fortifikasi zat besi
4.
Langkah 4 Problem Tree
5. Langkah
5 Sasaran Belajar
1) Batasan (definisi, gejala,
dampak, faktor risiko, klasifikasi, komplikasi, dan diagnosis) anemia remaja
puteri.
2)
Distribusi dan frekuensi anemia
remaja puteri (di Indonesia dan Kalimantan Selatan).
3)
Prevalensi anemia remaja puteri.
4)
Intervensi dan kebijakan pemerintah
terhadap kejadian anemia remaja puteri.
5)
Pencegahan, pengobatan, dan
penanggulangan anemia remaja puteri.
6)
Menu seimbang untuk remaja puteri
yang menderita anemia.
7)
Perencanaan dan evaluasi program
anemia remaja puteri.
8)
Surveilans anemia remaja puteri.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan
Kasus Berdasarkan Sasaran Belajar yang Mengacu pada Pustaka yang Relevan dengan
Kasus
1.
Definisi
a.
Remaja
Remaja
merupakan masa perubahan atau peralihan
dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik dan perubahan
sosial. Umumnya remaja remaja dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada
usia 18-22 tahun (1).
b.
Zat Besi
Besi
merupakan mineral mikro, sebanyak 3-5 gram dalam tubuh pada usia dewasa. Fungsi
esensial zat besi dalam tubuh, yaitu alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu pada reaksi
enzim di dalam jaringan tubuh. Faktor yang mempengaruhi absorpsi besi, yaitu
bentuk besi, asam organik, asam fitat, tanin, tingkat keasaman lambung, dan kebutuhan tubuh (2).
c.
Anemia
Anemia
didefinisikan suatu keadaan yang mana nilai Hb dalam darah lebih rendah dari
keadaan normal. Batas
kadar normal Hb untuk kelompok orang ditentukan menurut umur dan jenis kelamin
seperti yang diperlihatkan dalam tabel 1 dibawah ini (3):
Tabel
1.
Batas Normal Kadar Hb Menurut Umur dan Jenis Kelamin
Kelompok
|
Umur
|
Hb (gr/dl)
|
Anak-anak
|
6
- 59 bulan
|
11
|
5
– 11 tahun
|
11,5
|
|
12
- 14 tahun
|
12
|
|
Dewasa
|
Wanita
> 14 tahun
|
12
|
Wanita
Hamil
|
11
|
|
Laki-laki
> 14 tahun
|
13
|
2.
Distribusi
Frekuensi
Sebuah survei
di Amerika Serikat menyatakan 30-40 % anak balita dan wanita usia subur dengan
anemia defisiensi besi. Prevalensi kekurangan zat besi di negara berkembang
jauh lebih tinggi dari negara maju yaitu masing-masing 36 % dan 8 %, prevalensi
anemia defisiensi besi pada remaja putri di beberapa negara yaitu: 82,5 % di
Banglades, 23% di China, 42,2% di Filiphina, dan 74,7% di India (4).
3.
Prevalensi
Anemia Dikatakan sebagai Masalah Kesehatan Masyarakat
Batasan prevalensi anemia yang merupakan masalah
kesehatan masyarakat dapat dilihat dalam tabel 2 berikut (3):
Tabel 2. Ketentuan
Masalah Kesehatan Masyarakat berdasarkan prevalensi anemia
Kategori masalah kes mas
|
Prevalensi Anemia
|
Tidak masalah
|
< 4,9
|
Ringan
|
5,0 – 19,9
|
Sedang
|
20,0 – 39,9
|
Berat
|
>40,0
|
4.
Klasifikasi
Klasifikasi anemia adalah sebagai berikut (5):
a.
Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi zat besi adalah
kondisi seseorang tidak memiliki zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
tubuhnya atau pengurangan sel darah karena kurangnya zat besi. Defisiensi zat
besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan elemen tersebut
melampaui kecepatan asimilasinya. Penurunan cadangan zat besi jika bukan pada
anemia yang nyata, biasanya dijumpai pada bayi dan remaja dimana merupakan masa
terbanyak penggunaan zat besi untuk pertumbuhan. Neonatal yang lahir dari
perempuan dengan defisiensi besi jarang sekali anemis tetapi memang memiliki
cadangan zat besi yang rendah. Bayi ini tidak memiliki cadangan yang diperlukan
untuk pertumbuhan setelah lahir.
Tambahan beban akibat kehilangan darah
karena parasit seperti cacing tambang menjadikan defisiensi zat besi suatu
masalah dengan proporsi yang mengejutkan. Hal ini terjadi pada banyak keadaan
klinis. Setelah gastrektomi parsial atau total, asimilasi zat besi dari makanan
terganggu, terutama akibat peningkatan motilitas dan by pass usus halus proksimal yang menjadi tempat
utama absorpsi zat besi. Pasien dengan diare kronik atau malabsorpsi usus halus
juga dapat menderita defisiensi zat besi, terutama jika duodenum dan jejunum
proksimal ikut terlibat. Kadang-kadang anemia defisiensi zat besi merupakan
pelopor dari radang usus non tropical
(celiac sprue). Kehilangan zat besi dapat terjadi
secara fisiologis atau patologis.
1)
Fisiologi
a)
Menstruasi
b)
Kehamilan, pada kehamilan aterm, sekitar 900 mg zat besi
hilang dari ibu kepada fetus, plasenta dan perdarahan pada waktu partus.
2) Patologis
Perdarahan saluran makan merupakan penyebab paling sering dan selanjutnya
anemia defisiensi besi. Prosesnya sering terjadi
tiba-tiba, selain
itu dapat juga karena cacing tambang, pasien dengan telangiektasis herediter sehingga mudah berdarah, perdarahan traktus gastrourinarius, perdarahan paru
akibat bronkiektasis atau hemosiderosis paru idiopatik. Kelompok orang yang berisiko mengalami anemia defisiensi
zat besi:
1)
Wanita menstruasi.
2)
Wanita menyusui atau hamil karena peningkatan kebutuhan zat
besi
3)
Bayi, anak-anak dan remaja yang merupakan masa pertumbuhan
yang cepat.
4)
Orang yang kurang makan makanan yang mengandung zat besi,
jarang makan daging dan telur selama bertahun-tahun.
5)
Menderita penyakit maag
6)
Penggunaan aspirin jangka panjang
7)
Colon cance
8)
Vegetarian karena tidak makan daging, akan tetapi dapat
digantikan dengan brokoli dan bayam.
b.
Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan oleh karena kekurangan asam folik, jarang
sekali karena kekurangan vitamin B12.
c.
Anemia Hipoplastik
Anemia hipoplastik adalah anemia yang disebabkan oleh hipo fungsi sumsum tulang, membentuk sel darah merah baru. Diagnostik diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan diantaranya adalah darah tepi
lengkap, pemeriksaan pungsi ekternal dan pemeriksaan retikulosi.
d.
Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan penghancuran atau pemecahan sel
darah merah yang lebih cepat dari pembuatannya. Gejala utama adalah anemia
dengan kelainan-kelainan gambaran darah, kelelahan, kelemahan serta gejala komplikasi bila terjadi kelainan pada organ-organ vital.
Pengobatannya tergantung pada jenis anemia hemolitik serta penyebabnya. Bila disebabkan oleh infeksi maka infeksinya diberantas dan diberikan
obat-obat penambah darah. Namun pada beberapa jenis obat-obatan, hal ini tidak
member hasil. Sehingga transfusi darah berulang dapat membantu penderita ini.
5.
Penyebab
Penyebab anemia pada remaja
putri dan wanita adalah (3):
a.
Pada umumnya
konsumsi makanan nabati pada remaja putri dan wania tinggi, dibanding makanan
hewani sehingga kebutuhan Fe tidak terpenuhi.
b.
Sering melakukan
diet (pengurangan makan) karena ingin langsing dan mempertahankan berat
badannya.
c.
Remaja putri dan
wanita mengalami menstruasi tiap bulan yag membutuhkan zat besi tiga kali lebih
banyak dibanding laki-laki.
6.
Gejala
Gejala menurut tahapan
kekurangan besi (2):
a. Tahap
pertama
Terjadi bila simpanan
besi berkurang yang terlihat dari penurunan feritin dalam plasma hingga 12
ug/L. Hal ini dikompensasi dengan peningkatan absorpsi besi yang terlihat dari
peningkatan kemampuan mengikat besi total. Pada tahap ini belum terlihat
perubahan fungsional pada tubuh.
b. Tahap
kedua
Terlihat dengan
habisnya simpanan besi, menurunnya jenuh transferin hingga kurang dari 16% pada
orang dewasa dan meningkatnya protoporfirin, yaitu bentuk pendahulu hem. Pada
tahap ini nilai hemoglobin di dalam darah masih berada pada 95% nilai normal.
Hal ini dapat mengganggu metabolisme energy, sehingga menyebabkan menurunnya
kemampuan bekerja.
c. Tahap
ketiga
Terjadi anemia gizi
besi, dimana kadar hemoglobin total turun dibawah normal. Anemia gizi besi
berat ditandai oleh sel darah merah yang kecil (mikrositosis) dan nilai
hemoglobin yang rendah (hipokramia). Oleh sebab itu, anemia gizi besi dinamakan
anemia hipokromik mikrositik.
Gejala
lain yaitu pucat, rasa lemah, letih, pusing, kurang nafsu makan, menurunnya kebugaran tubuh, menurunnya kemampuan
kerja, menurunnya kekebalan tubuh, dan
gangguan penyembuhan luka serta kemampuan mengatur suhu tubuh menurun (2).
6.
Faktor
Risiko
Anemia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun
faktor risiko dari anemia adalah sebagai berikut (6,7):
a. Menstruasi
Anemia pada remaja putri disebabkan masa
remaja adalah masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk
zat besi. Selain itu pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi.
Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai
pelepasan endometrium. Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan ada yang
1-2 hari. Beberapa faktor yang mengganggu kelancaran siklus menstruasi yaitu
faktor stres, perubahan berat badan, olahraga yang berlebihan, dan keluhan
menstruasi. Panjang daur dapat bervariasi pada satu wanita selama saat-saat
yang berbeda dalam hidupnya. Menstruasi adalah suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh
banyak faktor antara lain lingkungan, musim, dan tingginya tempat tinggal dari
permukaan laut. Faktor lain yang penting adalah faktor sosial misalnya status
perkawinan dan lamanya menstruasi ibu. Usia dan ovulasi mempengaruhi lamanya
menstruasi. Rata-rata lama perdarahan pada kebanyakan wanita setiap periode
kurang lebih tetap.
Saat menstruasi terjadi pengeluaran
darah dari dalam tubuh. Hal ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam
hemoglobin, salah satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Semakin
lama menstruasi berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh. Hal
tersebut mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi
dalam tubuh terganggu. Menstruasi menyebabkan wanita kehilangan besi hingga dua kali jumlah
kehilangan besi laki-laki. Apabila darah yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti
jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar. Setiap orang mengalami
kehilangan darah dalam jumlah yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti keturunan, keadaan kelahiran, dan besar tubuh.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
jumlah darah yang hilang selama satu periode menstruasi berkisar antara 20-25
cc dan dianggap abnormal jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml. Jumlah
20-25 cc menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12.5-15 mg/bulan atau
kira-kira sama dengan 0.4-0.5 mg sehari. Jika jumlah tersebut ditambah dengan
kehilangan basal maka jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg per
hari. Wanita usia muda relatif lebih sedikit kehilangan darah
menstruasi dibandingkan dengan wanita usia lanjut yang masih mendapat
menstruasi. Kebanyakan wanita dengan tingkat menstruasi yang berat sangat
mungkin terkena anemia ringan.
b. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan seseorang
yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari
makanan dalam jangka waktu yang lama. Penilaian status gizi secara langsung
dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan
biofisik. Pengukuran antropometri terdiri dari dua dimensi yaitu pengukuran
pertumbuhan dan komposisi tubuh (pengukuran komponen lemak dan komponen bukan
lemak).
Indikator antropometri yang dipakai di lapangan adalah berat badan
untuk mengetahui massa tubuh dan panjang atau tinggi badan untuk mengetahui
dimensi berat linear dan indikator tersebut sangat tergantung pada umur.
Antropometri sangat penting pada masa remaja karena antropometri dapat
memonitor dan mengevaluasi perubahan pertumbuhan dan kematangan yang
dipengaruhi oleh faktor hormonal. Pengukuran paling reliabel untuk ras spesifik
dan popular untuk menentukan status gizi pada masa remaja saat ini adalah
Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks berat badan seseorang dalam
hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan membagi BB dalam satuan
kg dengan kuadrat TB dalam satuan meter. Berikut adalah rata-rata berat badan
dan tinggi badan wanita berdasarkan usia:
Tabel 3 Rata-rata BB dan TB wanita berdasarkan usia
Umur
|
Berat Badan (Kg)
|
Tinggi Badan (Cm)
|
||
Rata-Rata
|
SD
|
Rata-Rata
|
SD
|
|
10-12 Tahun
|
38.4
|
9.2
|
145.4
|
8.8
|
13-15 Tahun
|
44.6
|
6.7
|
152.3
|
4.6
|
16-18 Tahun
|
46.3
|
4.6
|
149.1
|
4.9
|
Sumber : Jahari & Jus’at (2004) Dalam
WNPG (2004)
|
Pada
periode remaja, 20 persen tinggi badan dan 50 persen berat badan saat dewasa
telah dicapai. Oleh karena itu kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi saat
remaja dan adanya kekurangan zat gizi makro dan mikro dapat mengganggu pertumbuhan
dan menghambat pematangan seksual. Wanita yang berstatus gizi baik akan lebih
cepat mengalami pertumbuhan badan dan akan lebih cepat mengalami menstruasi.
Sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk pertumbuhannya akan pelan dan lama
serta menstruasinya akan lebih lambat. IMT mempunyai korelasi positif dengan
konsentrasi hemoglobin. Jurnal lain menyebutkan bahwa remaja yang
mempunyai IMT kurang atau tubuh kurus mempunyai risiko 1.5 kali untuk menjadi
anemia.
c.
Perilaku Makan
Perilaku makan merupakan pola atau kebiasaan seseorang setiap kali makan
dalam satu hari. Perilaku makan ini meliputi beberapa hal seperti frekuensi
makan dalam satu hari, jenis-jenis bahan makanan yang dikonsumsi, besar porsi,
dan ada atau tidaknya pantangan makanan. Perilaku makan biasanya dipengaruhi
oleh budaya, norma, keluarga dan teman sebaya, serta lingkungan tempat
tinggalnya. Frekuensi makan adalah jumlah seseorang mengkonsumsi makanan
lengkap dalam sehari, misalnya 3 kali sehari makan utama dan 2 kali selingan.
Pantangan atau tabu merupakan suatu kebijaksanaan untuk membatasi atau
larangan untuk mengkonsumsi makanan tertentu. Hal ini dilatarbelakangi beberapa
alasan seperti kekhawatiran akan keracunan makanan tertentu, tidak terbiasa,
tidak terjamin keamanan dan kesehatannya, kebiasaan yang bersifat pribadi, dan
sudah menjadi tradisi turun temurun.
Protein yang terdapat dalam makanan, baik yang berasal dari hewan (protein
hewani) maupun tumbuhan (protein nabati) akan diuraikan menjadi asamasam amino
di dalam saluran pencernaan oleh enzim dan cairan pencernaan. Umumnya protein
hewani mempunyaki kandungan gizi protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan
protein nabati. Untuk mendukung pola makan yang baik guna mencegah terjadinya
anemia adalah konsumsi protein hewani dan sayuran hijau setiap hari.
Komponen yang terkandung di dalam sayuran berwarna hijau sangat khas dan
tidak terkandung pada bahan pangan berwarna lainnya, yaitu klorofil. Klorofil
merupakan zat hijau daun (pigmen hijau) yang terdapat pada semua makhluk hidup
yang melakukan fotosintesis. Dengan mengkonsumsi sayuran dan buah hijau, tidak
hanya memperoleh keuntungan dari kandungan zat gizinya yang tinggi, tetapi juga
dari kandungan klorofilnya. Peranan klorofil adalah berfungsi seperti
hemoglobin di dalam darah yang berperan penting pada proses penyediaan oksigen
ke seluruh sel dan jaringan tubuh. Hal ini dimungkinkan kesamaan stuktur antara
klorofil dan hemoglobin. Sayuran hijau juga kaya akan asam folat yang dapat
mencegah terjadinya anemia, yaitu anemia megaloblastik. Namun asam folat mudah
rusak karena pengaruh sinar matahari, pemasakan bahan pangan dengan panas
berlebihan, atau karena penyimpanan makanan yang terlalu lama pada suhu
ruangan.
d.
Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat
Perilaku hidup sehat adalah
perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko
terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif
dalam gerakan kesehatan masyarakat. Perilaku hidup sehat sangat erat kaitannya
dengan hygiene perorangan (personal hygiene).
Yang termasuk dalam hygiene perorangan adalah mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan
sabun dan air bersih mampu mencegah risiko terkena diare. Selain itu kebersihan
pribadi mencakup : kebersihan kulit, rambut, mata, kuku, hidung, telinga, mulut
dan gigi, tangan dan kaki, pakaian, serta kebersihan sesudah buang air besar
dan kecil.
Cuci tangan
sebelum makan merupakan salah satu faktor determinan status anemia. Sebagaimana
diketahui bahwa cuci tangan sebelum makan merupakan salah satu perilaku hidup
sehat. Melalui membiasakan mencuci tangan sebelum makan diharapkan kuman-kuman
tersebut tidak turut masuk ke dalam mulut, selanjutnya akan menyebabkan
kecacingan sebab cacing di perut sebagai pemicu terjadinya anemia. Anak yang
rutin mencuci tangan ternyata mempunyai risiko yang lebih kecil untuk terkena anemia.
e.
Aktivitas Fisik
Anemia
dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang. Penelitian Permaesih
menemukan 25 persen remaja di Bandung mempunyai kesegaran jasmani kurang dari
normal. Aktivitas fisik erat kaitannya dengan kesehatan tubuh secara
keseluruhan. Tubuh yang sehat mampu melakukan aktivitas fisik secara optimal,
sebaliknya aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin dalam porsi yang cukup
mempunyai dampak positif bagi kesehatan badan.
Pola
aktivitas remaja didefinisikan sebagai kegiatan yang biasa dilakukan oleh
remaja sehari-hari sehingga akan membentuk pola. Aktivitas remaja dapat dilihat
dari bagaimana cara remaja mengalokasikan waktunya selama 24 jam dalam
kehidupan sehari-hari untuk melakukan suatu jenis kegiatan secara rutin dan
berulang-ulang. Aktivitas fisik selama 24 jam dibagi menjadi lima yaitu aktivitas
tidur, aktivitas berat (olah raga seperti jogging, sepak bola, atletik, dan
sebagainya), aktivitas sedang (belajar, naik tangga, mencuci, mengepel,
menyetrika, menyapu, dan sebagainya), aktivitas ringan (kegiatan sambil
berdiri), dan aktivitas rileks (duduk, berbaring, dan sebagainya).
Aktivitas
fisik penting untuk mengetahui apakah aktivitas tersebut dapat mengubah status
zat besi. Performa aktivitas akan menurun sehubungan dengan terjadinya
penurunan konsentrasi hemoglobin dan jaringan yang mengandung zat besi. Zat
besi dalam hemoglobin, ketika jumlahnya berkurang, secara ekstrim dapat
mengubah aktivitas kerja dengan menurunkan transpor oksigen.
Menstruasi
pada wanita dapat meningkatkan risiko terjadinya defisiensi zat besi terkait
aktivitas fisiknya tanpa memperhatikan kehilangan darah yang dialami setiap
bulan. Pengeluaran zat besi dapat melalui keringat, feses dan urine, atau
hemolisis intravaskular. Studi yang dilakukan pada atlet wanita menunjukkan
bahwa kehilangan zat besi melalui keringat menurun sejalan dengan waktu.
Konsentrasi zat besi terbesar dalam keringat terjadi selama 30 menit pertama
olahraga dan konsentrasi zat besi tersebut lebih rendah pada lingkungan yang
panas dibandingkan lingkungan bersuhu ruang. Pada berbagai kasus zat gizi
mikro, wanita cenderung mempunyai asupan pangan yang kurang, dan defisiensi
memberikan dampak yang merugikan pada aktivitas fisik.
f.
Sosial Ekonomi
1) Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator
kelas sosial atau sosio ekonomi seseorang yang kemudian akan berpengaruh
terhadap kualitas sumber daya orang tersebut. Masyarakat yang berpendidikan dan
cukup pengetahuan tentang nilai gizi, lebih mempertimbangkan kebutuhan
fisiologis dibandingkan dengan kebutuhan kepuasan psikis. Tetapi umumnya akan
terjadi kompromi antara kebutuhan psikis dan kebutuhan fisiologis tubuh, sehingga
terdapat komposisi hidangan yang memenuhi kepuasan psikis maupun kebutuhan
fisiologis tubuh.
Jenjang pendidikan formal menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan
dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah
yang berbentuk berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau
bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan
dasar yang terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah
kejuruan yang berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA),
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau
bentuk lain yang sederajat. Sedangkan pendidikan tinggi merupakan jenjang
pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan
diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh
pendidikan tinggi.
Pendidikan ayah atau suami berpengaruh positif terhadap status gizi anggota
keluarganya termasuk remaja putri. Pendidikan kepala rumah tangga atau orang
tua secara tidak langsung akan menentukan pilihan barang termasuk bahan makanan
yang akan dikonsumsi.
2) Pekerjaan
Status pekerjaan orang tua atau mata pencaharian utama
kepala rumah tangga dan anggota keluaraga remaja putri berpengaruh secara tidak
langsung pada status gizi remaja putri sebagai bagian dari anggota keluarga.
Pekerjaan orang tua bukan merupakan faktor utama terhadap status gizi remaja,
namun pekerjaan berpengaruh terhadap daya beli atau kemampuan untuk menyediakan
pangan di rumah, pemilihan bahan pangan yang akan disediakan, dan pemberian
uang saku terhadap remaja putri. Beberapa hal ini pada akhirnya berpengaruh
pada status gizi remaja putri. Berdasarkan status pekerjaan orang tua terdapat
juga dampak terhadap status gizi remaja putri yaitu ibu yang bekerja memiliki
kendala kesulitan untuk menyediakan makanan yang sehat di rumah, akibatnya
remaja putri lebih memilih jajan atau mengkonsumsi makanan di luar rumah yang
tidak terjamin keamanan dan kesehatan makanannya.
g.
Pengetahuan
Pengetahuan
adalah hasil dari tahu, yang terjadi setelah seseorang melakukan peninderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui semua panca
indera manusia seperti indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia didapat dari penglihatan dan
pendengaran. Pengetahuan dibagi menjadi 2 sumber yaitu :
1) Pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman
Berdasarkan pada kenyataan yang pasti, derajat
kebenaran tergantung akan benar atau khilafnya indra penglihatan kita.
Pengetahuan yang didapat dari pengalaman disebut dengan pengetahuan pengalaman
atau disingkat pengetahuan (knowlenge).
2) Pengetahuan yang didapatkan dari keterangan
Pengetahuan ini didapatkan dari keterangan yang
memberikan dasar yang kokoh akan pengetahuan seseorang. Disini seseorang
mencari kebenaran dengan akal pikirannya. Pengetahuan ini disebut dengan ilmu
pengetahuan yang disingkat ilmu (science).
Pengetahuan dalam studi ini adalah pengetahuan remaja putri mengenai
pengetahuan tentang anemia dan pengetahuan tentang tablet tambah darah (TTD).
Pengetahuan mengenai anemia dimulai dari pernah mendengar istilah anemia,
pengertian anemia, penyebab anemia, tanda-tanda atau gejala anemia, akibat
anemia, siapa yang beresiko terkena anemia, cara mencegah dan mengobati anemia,
kadar Hb dikatakan anemia dan makanan yang banyak mengandung Fe. Sedangkan
pengetahuan mengenai TTD meliputi manfaat utama TTD, aturan minum TTD untuk
mencegah anemia dan aturan minum TTD untuk mengobati anemia.
Pengetahuan gizi menjadi landasan yang menetukan konsumsi pangan. Individu
yang memiliki pengetahuan baik akan mempunyai kemauan untuk menerapkan
pengetahuan gizinya dalam pemilihan maupun pengolahan pangan, sehingga konsumsi
pangannya dapat mencukupi kebutuhan.
h.
Konsumsi TTD
Tablet Tambah Darah (TTD) adalah suplemen zat besi yang mengandung 60 mg besi
elemental dan 0,25 mg asam folat (sesuai rekomendasi WHO). TTD bila diminum
secara teratur dan sesuai aturan dapat mencegah dan menanggulangi anemia gizi.
Dosis dan cara pemberian TTD; pada WUS dianjurkan minum TTD secara rutin dengan
dosis 1 tablet setiap minggu dan 1 tablet setiap hari pada masa haid; pada ibu
hamil/nifas dianjurkan minum TTD dengan dosis 1 tablet setiap hari selama masa
kehamilannya dan 40 hari setelah melahirkan.
Suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) diberikan dengan tujuan menghindari
remaja putri dari resiko anemia. Konsumsi TTD sangat dipengaruhi oleh kesadaran
dan kepatuhan remaja putri. Kesadaran merupakan faktor pendukung remaja putri
untuk mengkonsumsi secara baik. Namun demikian, kepatuhan dipengaruhi adanya
beberapa faktor di antaranya bentuk tablet, warna, rasa dan efek samping dari
TTD antara lain mengakibatkan nyeri lambung, mual, muntah, konstipasi dan diare.
i.
Riwayat penyakit
Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena infeksi.
Telah diketahui secara luas bahwa infeksi merupakan faktor yang penting dalam
menimbulkan kejadian anemia, dan anemia merupakan konsekuensi dari peradangan
dan asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan zat besi.
Kehilangan darah akibat schistosomiasis, infestasi cacing, dan trauma
dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia. Angka kesakitan akibat
penyakit infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi akibat efek yang
merugikan terhadap sistem imun. Malaria karena hemolisis dan beberapa infeksi
parasit seperti cacing, trichuriasis, amoebiasis, dan schistosomiasis
menyebabkan kehilangan darah secara langsung dan kehilangan darah tersebut
mengakibatkan defisiensi besi. Adanya
infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada dinding usus, meskipun
sedikit tetapi terjadi terus menerus sehingga dapat mengakibatkan hilangnya
darah atau zat besi. Infeksi cacing merupakan kontributor utama terjadinya
anemia dan defisiensi besi. Cacing tambang dapat menyebabkan pendarahan usus
yang memicu kehilangan darah akibat beban cacing dalam usus. Intensitas infeksi
cacing tambang yang menyebabkan anemia defisiensi zat besi bervariasi menurut
spesies dan status zat besi populasi. Cacing tambang yang menyebabkan
kehilangan darah terbesar adalah A. duodenale.
Peningkatan kejadian akibat malaria pada penderita anemia gizi besi
dapat memperberat keadaan anemia. Malaria adalah infeksi parasit yang
ditimbulkan oleh satu dari empat spesies dari genus Plasmodium yaitu P. vivax,
P. falciparum, P. ovale, dan P. malariae. Pada malaria P. falciparum, anemia
sering ditemukan dan menggambarkan anemia berat. Penyakit infeksi seperti malaria dapat
menyebabkan rendahnya kadar Hb yang terjadi akibat hemolisis intravaskuler.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada wanita hamil di Nepal, terdapat
bukti bahwa malaria berhubungan dengan defisiensi besi. Konsentrasi serum
ferritin pada wanita yang terjangkit P. vivax lebih rendah dan proporsi wanita
dengan serum ferritin rendah cenderung meningkat.
Peradangan dan pemanfaatan hemoglobin oleh parasit memegang peranan
penting dalam etiologi anemia pada malaria. Peradangan tersebut terlihat dalam
studi pada anak-anak India (2-11 tahun) yang menderita malaria parah, sedang,
asimtomatik, dan tidak malaria. Hasil penelitian menunjukkan malaria
asimtomatik memiliki konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah dibandingkan
dengan yang tidak menderita malaria. Walaupun persentase sel darah merah yang terinfeksi malaria biasanya
lebih sedikit, anemia dapat timbul akibat blokade penempatan sel darah merah
oleh faktor penghambat seperti hematopoiesis.
7.
Dampak
Remaja putri yang
menderita anemia dapat mengalami gangguan pertumbuhan, penurunan daya
konsentrasi belajar, kurang bersemangat dalam beraktivitas karena cepat merasa
lelah. Defisiensi besi dapat mempengaruhi pemusatan perhatian, kecerdasan dan
prestasi belajar di sekolah apabila remaja putri hamil, maka ia tidak akan
mampu memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan juga janin dalam
kandungannya. Oleh karena itu keguguran, kematian bayi dalam kandungan, berat
badan lahir rendah atau kelahiran prematur rawan terjadi pada ibu hamil yang
menderita anemia Anemia yang berlanjut semakin parah akan mempengaruhi struktur
dan fungsi jaringan epitel, terutama lidah, kuku, mulut, dan lambung (8).
Kuku semakin menipis
dan lama kelamaan akan terjadi kiolonychia (kuku berbentuk sendok). Mulut terasa panas dan terbakar, serta pada
kasus yang parah terlihat licin seperti lilin. Timbul rasa sakit pada
tenggorokkan waktu menelan makanan dan selaput mata nampak pucat. Lambung
mengalami kerusakan, yang pada akhirnya akan memperberat anemia. Anemia yang
terus berlanjut dan tidak ditangani akan mengakibatkan perubahan kardiovaskuler
dan pernafasan yang dapat berakhir pada gagal jantung (8).
8.
Diagnosis
Diagnosis anemia defisiensi
besi dibuat
berdasarkan pemeriksaan
klinik dan penunjang laboratorium serta penunjang lainnya, untuk membuktikan
adanya anemia defisiensi besi serta mencari penyebab anemia tersebut. Untuk
menentukan adanya anemia dan adanya defisiensi besi maka pemeriksaan
laboratorium memegang peranan penting. Diagnosis anemia defisiensi besi untuk
keperluan klinik dan untuk keperluan penelitian lapangan berbeda dalam beberapa
hal. Penelitian lapangan memerlukan cara diagnosis yang praktis, lebih
sederhana dan tidak terlalu invasif. Sedangkan ADB di klinik memerlukan
pemeriksaan yang akurasinya baik meskipun bersifat invasif (9).
Pemeriksaan yang umum dipakai adalah (9):
a.
Pemeriksaan
morfologi eritrosit (baik dengan hapusan darah tepi maupun dengan alat hitung
elektronik);
b.
Pemeriksaan
kadar besi serum dan total iron binding capacity (TIBC);
c.
Pemeriksaan
kadar feritin serum;
d.
Pengecatan besi sumsum tulang. Pengecatan besi sumsum tulang bersifat
semikualitatif dan invasif sehingga tidak praktis dipakai di lapangan.
Pemeriksaan morfologi eritrosit sangat tidak spesifik, karena anemia
hipokromik mikrositer dapat
disebabkan oleh berbagai macam anemia di luar defisiensi besi. Sedangkan
pemeriksaan besi serum, TIBC, dan feritin serum sangat dipengaruhi oleh adanya
infeksi dan keradangan. Oleh karena frekuensi dan pola infeksi di negeri Barat
berbeda dengan di Indonesia, maka akurasi parameter ini sebagai alat diagnosis
anemia defisiensi besi di Indonesia perlu diperiksa kembali. Juga yang tidak
kalah pentingnya adalah untuk mencari nilai batas (cut offpoint) dari besi
serum, TIBC dan feritin serum dalam diagnosis anemia defisiensi besi dengan
pengecatan besi sumsum tulang sebagai baku emas (gold standard). Disamping itu
pemeriksaan untuk mencari penyebab (etiologi) anemia defisiensi besi perlu juga
diteliti karena pola etiologi anemia defisiensi berbeda-beda menurut daerah
masing-masing. Pada orang dewasa penyebab tersering adalah perdarahan
tersembunyi dari saluran cerna, dan di negara tropik penyebab tersering adalah
infeksi cacing tambang
(9).
Mengingat pentingnya peran diagnosis dengan akurasi yang baik dan
disesuaikan dengan setting setempat dan pengenalan pola etiologi ADB yang
merupakan prasyarat untuk memberikan terapi di klinik dan dalam menyusun
strategi pencegahan anemia defisiensi besi di lapangan, maka penelitian untuk
melihat pola klinik dan cara diagnosis yang tepat dalam usaha penanggulangan
anemia defisiensi besi di klinik dan di masyarakat sangat perlu dikerjakan (9).
9.
Intervensi
dari Pemerintah
Kegiatan ini
dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi bekerja
sama dengan seksi Promosi Kesehatan (Program UKS), Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Kota
Bekasi dan Puskesmas Perumnas II serta Guru UKS di sekolah sasaran. Program
pencegahan dan penanggulangan anemia gizi besi pada remaja putri ini dilakukan
dengan pemberian tablet tambah darah selama 4 bulan. Program Pencegahan dan Penanggulangan Anemia
Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri ini berlangsung dalam beberapa tahap diantaranya
pemeriksaan kadar Hb darah dan recall pola makan remaja putri yang
dilakukan sebelum dan setelah pemberian tablet tambah darah, pemberian tablet
tambah darah kepada remaja putri dan kegiatan konseling gizi yang bertujuan
untuk memantapkan kemauan dan kemampuan remaja putri melaksanakan perilaku gizi
yang baik dan benar agar tidak terjadi anemia, pemantauan kepatuhan minum
tablet tambah darah, dan evaluasi kegiatan. Tablet tambah darah yang diberikan
mengandung 250 mg Fe elemental dan 0.25 mg asam folat ditambah vitamin dan
mineral. Tablet tambah darah diberikan 1 tablet setiap minggu dan 10 tablet
pada waktu menstruasi sehingga total tablet yang diminum selama 4 bulan
kegiatan adalah 52 tablet (7).
10. Surveilans
Surveilans gizi adalah
suatu proses suatu proses pengumpulan, pengolahan dan diseminasi informasi
hasil pengolahan data secara terus menerus dan teratur tentang indikator yang
terkait dengan kinerja pembinaan gizi masyarakat. Kegiatan surveilans gizi
bermanfaat untuk memberikan informasi pencapaian kinerja dalam rangka
pengambilan tindakan segera, perencanaan jangka pendek dan menengah serta
perumusan kebijakan, baik di kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Selain itu
kegiatan surveilans gizi juga bermanfaat untuk
mengevaluasi pencapaian kinerja pembinaan gizi masyarakat (10).
Ada 8 indikator kinerja dalam surveilans gizi,
yaitu (10):
1)
Balita ditimbang berat badannya;
2)
Balita gizi buruk mendapat perawatan;
3)
Balita 6-59 bulan mendapat kapsul
vitamin A;
4)
Bayi usia 0-6 bulan mendapat ASI
Eksklusif;
5)
Ibu hamil mendapat 90 tablet Fe; R
6)
Rumah tangga mengonsumsi garam
beriodium;
7)
Kabupaten/kota melaksanakan surveilans
gizi; dan
8)
Penyediaan stok cadangan (buffer
stock) Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) untuk daerah bencana.
a.
Pengumpulan
Data
Pengumpulan data secara cepat, akurat,
teratur dan berkelanjutan dari kegiatan rutin pendistribusian kapsul vitamin A
balita. Tabel berikut menunjukkan data
distribusi kapsul vitamin A balita dan sumbernya pada kegiatan surveilans gizi.
Tabel
4 Rekapitulasi Data di Tingkat Kabupaten/Kota
Data
|
Sumber
Data
|
Instrumen
|
Pengumpul
Data
|
Waktu
|
Distribusi Tablet Tambah Darah (TTD)
|
Laporan Puskesmas
|
LB3 atau FIII Gizi
|
Bidan Koordinator TPG Puskesmas
|
Setiap bulan
|
Dalam
pelaksanaan pengumpulan data, bila ada puskesmas yang tidak melapor atau
melapor tidak tepat waktu, data laporan tidak lengkap dan atau tidak akurat
maka petugas Dinkes Kabupaten/Kota perlu melakukan pembinaan secara aktif untuk
melengkapi data. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui telepon, Short Message
Service (SMS) atau kunjungan langsung ke puskesmas (10).
b.
Pengolahan
Data dan Penyajian Informasi
Pengolahan data dapat dilakukan secara
deskriptif maupun analitik, yang disajikan dalam bentuk narasi, tabel, grafik
dan peta, atau bentuk penyajian informasi lainnya (10).
c.
Diseminasi Informasi
Diseminasi informasi dilakukan untuk
menyebarluaskan informasi surveilans gizi kepada pemangku kepentingan. Kegiatan
diseminasi informasi dapat dilakukan dalam bentuk pemberian umpan balik,
sosialisasi atau advokasi. Umpan balik merupakan respon tertulis mengenai
informasi surveilans gizi yang dikirimkan kepada pemangku kepentingan pada
berbagai kesempatan baik pertemuan lintas program maupun lintas sektor.
Sosialisasi merupakan penyajian hasil surveilans gizi dalam forum koordinasi
atau forum-forum lainnya sedangkan advokasi merupakan penyajian hasil
surveilans gizi dengan harapan memperoleh dukungan dari pemangku kepentingan (10).
Mekanisme dan alur pelaporan, umpan
balik, seta koordinasi pelaksanaan surveilens gizi digambarkan sebagai berikut
(10):
Gambar
1.
Alur Pelaporan dan Umpan Balik serta Koordinasi
Hasil
surveilans gizi dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan sebagai tindak lanjut
atau respon terhadap informasi yang diperoleh. Tindak lanjut atau respon dapat
berupa tindakan segera, perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang serta
perumusan kebijakan pembinaan gizi masyarakat baik di kabupaten/kota, provinsi
dan pusat (10).
Tabel 5. Indikator Kinerja dan Target
Kegiatan Pembinaan Gizi tahun 2010-2014
Indikator Kinerja
|
Target (%)
|
||||
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
|
Persentase ibu hamil mendapat 90
tablet Fe
|
84
|
86
|
90
|
93
|
95
|
Sumber : Kemkes. 2010. Rencana Aksi Pembinaan Gizi
Masyarakat 2010-2014. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Kementerian
Kesehatan. Jakarta: Kemkes. p. 2
Jika hasil
analisis menunjukan cakupan distribusi TTD (Fe3) rendah, respon yang dilakukan
adalah meminta Puskesmas agar lebih aktif mendistribusikan TTD pada ibu hamil,
dengan beberapa alternatif (10):
1) Bila
ketersediaan TTD di puskesmas dan bidan di desa tidak mencukupi maka perlu
mengirim TTD ke puskesmas.
2) Bila
TTD masih tersedia, maka perlu meminta Puskesmas untuk melakukan peningkatan
integrasi dengan program KIA khususnya kegiatan Ante Natal Care (ANC).
3) Melakukan
pembinaan kepada puskesmas dengan cakupan rendah.
11. Pencegahan dan Penanggulangan
Anemia dapat
dicegah dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang dengan asupan zat besi yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Berikut pencegahan dan penanggulangan anemia (11):
a. Penyediaan
suplementasi zat besi
Terapi
zat besi per oral merupakan bentuk penanganan yang disukai. Efek samping yang
lazim terjadi pada suplementasi zat besi adalah mual, konstipasi, tinja
berwarna hitam, dan diare. Risiko efek samping tersebut sebanding dengan dosis
zat besi yang diberikan. Ketidakpatuhan pasien dalam menjalani terapi merupakan
penyebab utama ketidakberhasilan dalam merespons terapi dan diperlukan
konseling individual yang dilaksanakan dengan tepat serta stimultan.
Di
negara berkembang tempat anemia defisiensi besi menjadi persoalan yang
prevalen, tindakan yang tepat mungkin berupa suplementasi zat besi secara
menyeluruh. Pada segmen populasi dalam kelompok sosioekonomi yang lebih tinggi
, tindakan yang sebaiknya dilakukan adalah pemberian suplemen zat besi secara
selektif hanya kepada orang-orang yang menderita anemia.
b. Fortifikasi
bahan pangan yang biasa dikonsumsi dengan zat besi
Fortifikasi
zat besi pada beberapa bahan pangan yang lazim dikonsumsi merupakan pilihan
menarik untuk mengatasi permasalahan asupan zat besi yang tidak memadai dalam
masyarakat. Bahan pangan yang dijadikan fortifikan dan pembawa harus aman dan
efektif. Jenis jenis bahan pangan yang berhasil dijadikan pembawa bagi
fortifikasi pangan adalah gandum, roti, tepung susu, garam, susu formula bayi,
dan gula.
c. Edukasi
gizi
Upaya
yang ekstensif dan persuasif diperlukan untuk menimbulkan perubahan perilaku
dalam masyarakat agar orang-orang dalam masyarakat tersebut mau mengadopsi
diversifikasi pangan. Pendekatan berikut ini yang dianggap penting dalam pencegahan
dan pengendalian anemia gizi secara umum:
1) Meningkatkan
konsumsi bahan pangan yang kaya akan zat besi seperti kacang-kacangan, sayuran
hijau, jenis sayuran lainnya, dan daging.
2) Mendorong
konsumsi secara teratur bahan pangan yang kaya akan vitamin C seperti jeruk
sitrus, jambu, dan kiwi.
3) Menyarankan
untuk tidak mengonsumsi bahan pangan yang dapat menghambat absorpsi besi.
Komunikasi
antar pribadi masih merupakan metode komunikasi yang efektif pada sebagian
negara berkembang. Percakapan dalam kelompok, slideshow, sandiwara rakyat, teater jalanan, televisi, dan radio
merupakan metode penyuluhan gizi lainnya. Pemasaran sosial yang menerapkan
prinsip-prinsip pemasaran untuk memperbaiki kesadaran gizi dengan melibatkan
pakar-pakar komunikasi, dapat menjadi salah satu strategi yang perlu diadopsi.
d.
Pendekatan berbasis hortikultur untuk
memperbaiki ketersediaan hayati zat besi pada
bahan pangan yang umum
Strategi holtikultural
untuk mendorong produksi buah dan sayuran yang kaya akan zat besi merupakan
komponen penting dalam pendekatan jangka panjang untuk mengendalikan dan
mencegah anemia karena defisiensi zat besi di negara berkembang. Kebun rumah
merupakan salah satu pendekatan yang
dapat berlanjut untuk mengendalikan anemia karena defisiensi zat besi .
Adapun
contoh menu untuk penderita anemia, yaitu pada tabel 6 berikut (12):
Tabel
6.
Menu untuk penderita anemia
Pagi
|
Selingan
|
Siang
|
Selingan
|
Malam
|
Pancake labu
kuning
|
Dadar Gulung
kambing
|
Nasi Putih
Sayur dan
Singkong tumbuk
Oseng daging
ayam bmbu semur
|
Jeruk
|
Nasi putih
Tumis kangkung
kembang papaya
Perkedel
isihati kambing
|
B.
Analisis
Kasus pada Skenario Lebih Mendalam
Anemia besi merupakan salah satu
dari empat masalah gizi utama di
Indonesia selain KEP (kekurangan energy dan protein), KVA (kekurangan Vitamin
A), dan GAKY (gangguan akibat kekurangan yodium). Hasil survey Hb di 3
kabupaten kota di Kalimantan Selatan ditemukan bahwa prevalensi anemia pada
remaja putri sebesat 60,3%. Sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan oleh WHO
(2001), besarnya prevalensi di ketiga kota tersebut dianggap sebagai masalah
kesehatan masyarakat dan perlu diberikan perhatian khusus untuk
menanggulanginya.
Tabel 2. Ketentuan
Masalah Kesehatan Masyarakat berdasarkan prevalensi anemia
Kategori masalah kesmas
|
Prevalensi Anemia
|
Tidak masalah
|
< 4,9
|
Ringan
|
5,0 – 19,9
|
Sedang
|
20,0 – 39,9
|
Berat
|
>40,0
|
Anemia pada remaja putri disebabkan masa remaja adalah masa
pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk zat besi. Selain
itu pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi. Menstruasi ialah
perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai pelepasan
endometrium. Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan ada yang 1-2 hari. Saat
menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh. Hal ini menyebabkan zat
besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah satu komponen sel darah merah,
juga ikut terbuang. Semakin lama menstruasi berlangsung, maka semakin banyak
pengeluaran dari tubuh. Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran besi meningkat
dan keseimbangan zat besi dalam tubuh terganggu. Menstruasi menyebabkan wanita
kehilangan besi hingga dua kali jumlah kehilangan besi laki-laki. Apabila darah
yang keluar saat menstruasi cukup banyak, berarti jumlah zat besi yang hilang
dari tubuh juga cukup besar. Hal inilah yang menyebabkan perhatian
penanggulangan anemia besi difokuskan kepada remaja puteridan ibu hamil.
Remaja
putri yang menderita anemia dapat mengalami gangguan pertumbuhan, penurunan
daya konsentrasi belajar, kurang bersemangat dalam beraktivitas karena cepat
merasa lelah. Defisiensi besi dapat mempengaruhi pemusatan perhatian,
kecerdasan dan prestasi belajar di sekolah apabila remaja putri hamil, maka ia
tidak akan mampu memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan juga janin
dalam kandungannya. Oleh karena itu keguguran, kematian bayi dalam kandungan,
berat badan lahir rendah atau kelahiran prematur rawan terjadi pada ibu hamil
yang menderita anemia Anemia yang berlanjut semakin parah akan mempengaruhi
struktur dan fungsi jaringan epitel, terutama lidah, kuku, mulut, dan lambung.
Mengingat
besarnya prevalensi kejadian anemia besi pada remaja puteri di daerah perkotaan
yang memiliki tingkat pendidikan dan sosial ekonomi cukup baik, maka menjadi
pertanyaan mengapa keadaan tersebut bisa terjadi. Dilihat dari faktor risiko
yang mempengaruhi kejadian penyakit anemia besi, penyebab yang paling dominan
adalah life style. Gaya hidup
didaerah perkotaan yang cenderung mengkonsumsi makanan siap saji, jarang
melakukan aktivitas fisik dan keinginan menjaga proporsi tubuh bagi para remaja
puteri.
Puskesmas
sebagai ujung tombak dalam pelayanan kesehatan dasar masyarakat harus
mengoptimalkan fungsinya tersebut dengan mengejar cakupan-cakupan yang harus
dicapai dalam pemberian tablet tambah darah (TTD). Meningkatkan motivasi kerja
para tenaga kesehatan yang terkait dengan permasalahan gizi di Indonesia
khususnya masalah anemia besi. Promosi kesehatan terkait masalah gizi yang
secara langsung akan meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap gizi dan
program pemberian tablet tabah darah (TTD).
Perlu
dilakukan monitoring, evaluasi terhadap program pemberian tablet tambah darah (TTD), sehingga dapat menjadi tolak ukur
tingkat keberhasilan program, solusi untuk program serta dapat memantau kinrja
dari para tenaga kesehatan.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Anemia
adalah suatu keadaan dimana kadar Hb berada di bawah batas normal. Distribusi
frekuensi anemia di negara berkembang berjumlah empat kali lipat dari negara
maju dengan ketentuan prevalensi penderita anemia < 4,9. Pada kasus di
skenario anemia gizi dominan terjadi pada remaja putri. Penyebabnya adalah
konsumsi pangan hewani yang kurang, pola diet yang salah, dan siklus menstruasi
setiap bulannya. Gejala anemia yang umumnya terjadi adalah 5L yaitu lemah,
lelah, letih, lesu, lunglai. Faktor risiko penderita anemia gizi dipengaruhi
oleh menstruasi, status gizi, perilaku makan, perilaku hidup bersih dan sehat,
aktivitas fisik, sosial ekonomi, pengetahuan, dan riwayat penyakit. Selain
memberikan dampak buruk pada kesehatan tubuh, anemia gizi juga berpengaruh
terhadap konsentrasi belajar remaja putri. Untuk pemeriksaan status anemia
dilakukan berdasarkan karakterisitik daerah masing-masing. Langkah-langkah
surveilans anemia sama dengan surveilans gizi lainnya yiatu dengan cara
pengumpulan data, pengolahan data dan
penyajian informasi, dan diseminasi informasi. Pencegahan dan
penanggulangan anemia gizi saat ini terfokus pada pemberian tablet tambah darah
yang dapat ditemukan di apotek maupun klinik dengan konsumsi sesuai dosis yang
dianjurkan. Selain itu pencegahan juga bisa dilakukan dengan mengontrol pola
makan yang seimbang dan mengandung zat besi untuk kebutuhan Hb.
B.
SARAN
Berdasarkan masalah yang ada pada
skenario dikatakan bahwa remaja putri sangat rentan terkena anemia walaupun tingkat
pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat sudah tergolong baik akan tetapi
terjadinya anemia remaja putri dikarenakan demi untuk mempertahankan kondisi
badannya yang ideal rela melakukan diet yang tidak seimbang. Sehingga sebaiknya
remaja putri meningkatkan kesadaran mereka terhadap pola diet yang benar
khususnya pada remaja perkotaan yang sangat suka mengkonsumsi makanan cepat
saji dengan kesadaran yang meningkat maka bertambahnya kasus anemia gizi dapat
ditekan. Selain itu disarankan kepada puskesmas untuk lebih intensif melakukan
pendekatan ke sekolah dengan membentuk komunitas remaja putri peduli anemia
untuk melakukan skrining anemia gizi pada remaja putri.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Notoadmodjo,
Soekidjo. Kesehatan MasyarakatIlmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
2.
Almatsier,Sunita.
Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. 2010.
3.
Nursari,
Dilla. Gambaran Kejadian Anemia pada Remaja Putri SMP Negeri 1 Kota Bogor Tahun
2009. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010.
4.
Isniati.
Efek Suplementasi Tabletn Fe Obat Cacing terhadap Kadar Hemoglobin Remaja yang
Anemia di Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Pasir Kecamatan IV Angkat Candung
Tahun 2008. Karya Tulis Ilmiah. Teknik Farmasi, 2007.
5.
Rofiq,
Ahmad. Anemia pada Ibu Hamil. Universitas Muhammadiyah Malang 2010; (online),
(http://devide.student.umm.ac.id, diakses 3 November 2012).
6.
Siahaan,
Nahsty Raptauli. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Anemia Pada
Remaja Putri Di Wilayah Kota Depok Tahun 2011 (Analisis Data Sekunder Survei
Anemia Remaja Putri Dinas Kesehatan Kota Depok Tahun 2011). Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia Depok,
2012.
7. Arumsari,
Ermita. Faktor Risiko Anemia Pada Remaja Putri
Peserta Program Pencegahan Dan Penanggulangan
Anemia Gizi Besi (Ppagb) Di Kota Bekasi. Institut Pertanian Bogor, 2008.
8.
Farida,Ida.
Determinan Kejadian Anemia pada Remaja Putri di Kecamatan Gebog Kabupaten
Kudus. Tesis. Universitas Diponegoro, 2007.
9.
Suega,
Ketut, dkk. Perbandingan Beberapa Metode Diagnosis Anemia Defisiensi Besi.
Jurnal. Fakultas Kedokteran UNUD Bali, 2007.
10.
Kementrian
Kesehatan RI. Petunjuk Pelakanaan Surveilans Gizi. Ditjen Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak Jakarta, 2012.
11.
Gibney,
Michel J., Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Kedokteran EGC, 2009.
12.
Supriyati,Titin.
Anemia Pada Remaja. Akademi Keperawatan Fatmawati Jakarta, 2003.
0 komentar:
Posting Komentar