BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebuah film pendek yang
berjudul Bunga Kering Perpisahan. Ini cerita tentang dua anak manusia. Albert namanya. Anak pendeta.
Humanis. Tak pasrah buta pada satu agama. Yang kedua, Dewi namanya. Cantik.
Taat beragama, patuh pada orang tua.
Mereka dipertemukan asmara. Cinta mereka baik-baik saja. Sampai suatu
ketika mereka bertemu dengan sekat maya yang tak pernah kita lihat rupanya:
agama. Di luar sana, sekat senada meski tak sama juga ada. Di Bali kita
menyebutnya kasta. Jika agama horizontal, kasta relasi atas bawah. Ada yang
merasa lebih tinggi dibandingkan yang lain. Persoalan jatuh cinta yang tersekat
agama, juga kasta tak cuma urusan Albert dan Dewi semata. Ada banyak dari
mereka yang sedang dirundung masalah serupa.
Film Bunga Kering Perpisahan karya Hanung Bramantyo ini, cerita tentang
Albert dan Dewi, pun menghadirkan duka. Dewi menikah dengan kekasih pilihan
orang tuanya. Albert meninggal dalam kesendirian, juga kesetiaan. Kita tahu tak
semua cerita cinta (harus) berakhir bahagia.
Ada penggalan menarik dari puisi Bunga Kering Perpisahan karya Denny JA
ini.
Manusia lebih tua dari agama,
Sudah ada cinta sejak manusia diciptakan-Nya,
Cinta lebih tua dari agama,
Janganlah agama mengalahkan cinta.
Kita tidak pernah memilih lahir di keluarga mana, suku tertentu hingga
agama apa. Kebetulan aja kita dilahirkan menjadi bagian dari keluarga Islam,
Kristen, atau Hindu. Kebetulan saja kita dilahirkan menjadi suku Jawa, Batak
atau Papua. Kebetulan saja kita dilahirkan di Amerika, Eropa atau Afrika.
Kebetulan saja kita dilahirkan berwarna sawo gosong, kuning langsat atau pucat
pias.
B.
Rumusan Masalah
Setelah menonton film Bunga Kering
Perpisahan yang menampilkan konflik yang sering terdapat dalam masyarakat,
yakni pasangan berbeda agama yang saling
ingin memiliki dalam sebuah ikatan pernikahan. Namun karena perbedaan agama itulah ikatan
itu tak dapat terjalin dan terpisah lah mereka berdua. Dari konflik beda agama
inilah yang akan kami bahas lebih lanjut di makalah ini.
C.
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk
memenuhi tugas Pendidikan Ilmu Sosial Budaya yaitu menganalisis konflik
hubungan bedaan agama yang ada dalam film Bunga Kering Perpisahan.
BAB II
PEMBAHASAN
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila
dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam
menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan –
perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan
interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan
komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu
persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan
Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya biasa disebut sebagai “pernikahan
beda agama’’.
Pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang
hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk
menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada
posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda
agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti
tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir
pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.
Keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di
masyarakat semakin luas dan beragam, hal ini telah mengakibatkan pergeseran
nilai agama yang lebih dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau, seorang
muslimin dan muslimat sekarang ini lebih berani untuk memilih pendamping hidup
non-muslim. Hal ini tentu saja dianggap oleh masyarakat kita yang mayoritas
beragama Islam sebagai penyalahan atau pergeseran nilai-nilai Islam yang ada. Tak jarang hal ini sering menimbulkan gejolak dan reaksi keras di kalangan
masyarakat kita, yang dicontohkan oleh ayah Dewi dalam film Bunga
Kering Perpisahan ini. Saat Dewi membawa Albert pacarnya yang non-muslim, ayah
Dewi sangat marah dan menentang keras hubungan keduanya.
Dari sudut pandang agama Islam, apa
yang dilakukan Dewi dan Albert tentu merupakan sebuah perbuatan tercela, Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi setiap orang yang ber-iman supaya memilih pasangan yang se-iman. Wajar, jika al-Qur’an dan hadis,
banyak memberikan penjelasan seputar wanita atau lekaki yang akan menjadi
pasangan hidup. Allah Swt menegaskan bahwa ke-imanan (tauhid), merupakan syarat
mutlaq untuk menjadi pasangan hidup seseorang. Sebab, pernikahan itu sebenarnya
tidak hanya berlangsung di alam fana’, tetapi hingga sampai pada kehidupan
abadi (surga). Apa yang dilakukan Dewi sudah salah dari awal, dia sebagai seorang muslim
seharusnya tau jika menjalin hubungan dengan laki-laki nonmuslim itu dilarang
agama Islam
Terkait dengan memilih pasangan, Nabi Saw mewanti-wanti kepada pengikutnya
agar jangan sampai salah pilih. Karena dampakanya kurang baik di dalam
membangun generasi unggulan, dan akan berbuntut dikemudian hari. Nabi Saw
Bersabda: ”Diriwayatkan
dari Aisyah r.a., Nabi s.a.w menuturkan: ”Pilihlah tempat yang paling benar
wanita yang akan mengandung anakmu “
Oleh karena
itu, orang tua hendaknya selektif di dalam menentukan pilihan menantunya. Hal ini seperti
yang dicontohkan ayah Dewi, melihat Dewi mulai berani membantah perintah untuk
meninggalkan Albert, dia langsung mengambil sikap untuk menjodohkan Dewi pada
Joko, seorang pemuda yang seagama yaitu agama Islam. Mengetahui akan dijodohkan
dengan Joko, Dewi sempat menentang dan berniat kabur dari rumah. Albert
sebenarnya ingin untuk menikahi Dewi dan Dewi pun bersedia. Untuk masalah ini secara gamblang, Nabi Allah Swt melarang
menikahi lelaki (pasangan) berbeda agama dan
keyakinan. Sebagian ulama’, sepakat bahwa menikah beda agama itu hukumnya
haram, walaupun ada juga yang berpendapat bahwa menikah dengan beda agama itu
sekedar boleh.
Ayat ini
mengisaratkan betapa pentingnya pernikahan atas dasar keyakinan dan agama.
Bukan berarti, kecantikan atau ketampanan tidak penting, akan tetapi, jika
kecantikan itu jutru membawa petaka dan pidana. Maka, apa artinya sebuah
pernikahan. Oleh karena itu, Nabi Saw menjelaskan secara terperinci, menikah
itu hendaknya juga memperhatikan (penampilan (cantik/ ganteng), materi (cukup),
nasab (keturunan) dan moral (agama). Masing-masing yang disebutkan di atas akan
saling menyempurnakan dan melengkapi menuju rumah tangga yang bahagia dan
sejahtera lahir dan batin.
Realitas dilapangan, ternyata pasangan yang telah menikah dengan mengatasnamakan
CINTA, ternyata justru paling banyak BERCERAI. Apalagi, pernikahan itu dengan
tidak seiman, justu menyisakan duka lara. Walaupun ada orang yang menikah beda
agama dan keyakinan tidak masalah, tetapi realitasnya banyak yang menikah
berahir dengan perpisahan, serta masalah, bahkan sampai memperebutkan hak asuh
anak-anak agar mengikuti agama salah satu dari orangtuanya. Secara tegas, islam
merlarang pemeluknya menikah dengan orang yang menyekutukan Allah SWT, seperti
menyembah berhala (batu, kayu, patung), kecuali mereka beragama samawi (langit),
seperti Nasrani, Yahudi.
Intinya sangatlah jelas larangan tentang pernikahan antar orang yang berlainan
agama. Maka, jika kita gunakan akal sehat kita, sangatlah tidak rasional jika
kita masih akan berbelok dari arahan Allah juga nabi Muhammad dalam al-kitab
dan as-sunnahnya. Karena pada hakikatnya, petunjuk itu, tiada lain hanyalah
bertujuan untuk keselamatan umat di dunia sampai di akhirat nanti.
Jika cinta lebih tua dari agama, mengapa agama menjadi lebih kuasa?
Agama seharusnya tidak menjadi penghambat mereka yang ingin menyatukan diri
membina rumah tangga, hidup bahagia atau membangun impian setiap dari kita. Toh
misalnya, agama yang kita anut, sebagian besar dianut karena faktor keturunan,
warisan orang tua. Bukankah sedikit dari kita yang memeluk agamanya karena
benar-benar pencarian spiritual?
Tapi cinta kerap irasional dan di luar logika. Karena itulah cinta
menjadi kompleks, tidak terdefinisikan dan penuh warna. Termasuk ketika tersekat
oleh agama. Dia datang pada waktu yang tak terduga, menyiksa bukan karena kita
tak mampu menggapainya tapi karena kita tak mengerti bagaimana langkah untuk
mewujudkannya. Karena penuh warna, maka cinta acap penuh drama.
Untunglah, tidak semua cerita cinta tapi beda agama harus setragis
Albert dan Dewi. Beberapa rekan kerja, berjuang untuk mempertahankan dan
mewujudkan cerita cinta mereka. Ada asa bahwa yang yang terhalang sekat agama
akan berakhir dengan sukacita. Aku senang melihat mereka berjuang dan berkorban
untuk ini. Cinta memang sudah seharusnya saling menguatkan.
Bisa jadi soal (cinta tapi beda) ini sebenarnya sederhana jika
relasinya hanya antara dua manusia yang mengalaminya. Tapi di Indonesia, jatuh
cinta yang ingin diakhiri dengan pernikahan menciptakan relasi banyak pihak:
orang tua, keluarga dan negara. Karena itulah cinta beda agama menjadi tidak
sesederhana yang kita kira. Cinta bisa saja satu, tapi bukankah menikah perlu
restu orang tua. Perjuangan memperoleh restu orang tua yang beda agama inilah
yang kerapkali penuh drama.
Karena terlalu banyak faktor yang berkelindan itulah sebagian besar
dari kita memilih pasangan yang relatif tidak banyak perbedaan sosial. Agama
yang sama, suku yang sama. Kelas sosial yang sama.
Kenapa?
Seminimal mungkin perbedaan yang terbentang diantara kita, semakin
sedikit usaha untuk meluruskan perbedaan yang kita punya. Pernikahan, meski aku
belum mengalaminya, bukanlah untuk menyamakan perbedaan dua anak manusia.
Melainkan membuat perbedaan yang ada menjadi seirama sehingga tujuan yang
dicita-citakan tergapai dengan lebih cepat.
Lalu, apakah mereka yang beda agama, suku dan status sosial hidup
bahagia hanyalah sebuah utopia? Tentu saja tidak. Hanya, jalannya menjadi lebih
terjal. ‘Harga’ yang harus dibayar menjadi lebih mahal dan bisa jadi waktu yang
dibutuhkan lebih lama. Karena simpangan dan derajatnya besar, kompromi
terhadapnya juga menjadi lebih besar. Namun tidak semua dari kita bersedia
berkorban terus menerus bukan? Karena itulah, perjuangannya mereka yang ‘cinta
tapi beda’ menjadi lebih berat. Berbanggalah mereka yang menikah beda agama
akhirnya bisa hidup bahagia.
Toh kalau mau mengikuti logika, kita sebenarnya bisa menghindari jalan
terjal ‘beda agama’ ini. Jika sudah tahu beda agama, kenapa mesti didekati?
Jika sudah tahu risikonya, kenapa mesti stalking diam-diam? Kenapa harus ada
perhatian lebih dan mengapa harus membiarkan hati kita terbuka untuk dia.
Bukankah sejak awal kita bisa membatasi diri tidak mengikuti rasa penasaran
terhadap dia yang mencuri perhatian kita.
Toh, sebenarnya tidak ada yang namanya jatuh cinta pada pandangan
pertama? Bukankah untuk bisa jatuh cinta kita mesti mengalami yang namanya
pertemuan kedua, ketiga dan pertemuan-pertemuan berikutnya. Bukankah pada
pertemuan-pertemuan selanjutnya kita mengetahui lebih banyak tentang dia.
Bukankah artinya kita bisa berpikir waras bahwa ada jalan terjal yang akan
menunggu di depan kita. Ah, tapi itulah cinta memang menabrak logika. Kalau
sudah cinta, di ujung dunia pun akan kita kejar.
Cinta membuat kita kalap mata, buta terhadap risiko, nekat menerobos
rambu-rambu dan ya begitu yang akhirnya terjebak pada situasi rumit yang
sebenarnya bisa dihindari sejak awal. Kita terjebak pada dilema yang kita
ciptakan sendiri. Ketika sudah masuk pada ‘pertemuan-pertemuan berikutnya’,
pilihan jatuh cinta adalah pilihan dengan kesadaran. Kita tahu artinya.
Termasuk jalan terjal yang mungkin akan ditempuh. Kita sadar risikonya.
Sayangnya, tidak setiap dari kita bisa memilih takdir yang kita suka
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Setelah kembali mempelajari lebih detail tentang aturan islam dalam
permasalahan nikah serta hukumnya, maka sangatlah jelas pula akan suatu batasan
hubungan antara umat islam dengan umat non muslim.
Dengan itu pula, sudah jelas. Bahwa Allah melarang hubungan antara umat muslim
dan non muslim guna keselamatan umat itu sendiri. Baik keselamatan dunia dan
akhirat. Serta untuk keselamatan keturunannya dan keselamatan akan agama islam.
Karena dengan benar-benar menjaga hubungan sesama muslimlah yang akan
menjadikan kita selamat.
Dari sudut pandang agama Islam, apa
yang dilakukan Dewi dan Albert tentu merupakan sebuah perbuatan tercela, Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi setiap orang yang ber-iman supaya memilih pasangan yang se-iman. Wajar, jika al-Qur’an dan hadis,
banyak memberikan penjelasan seputar wanita atau lekaki yang akan menjadi
pasangan hidup. Allah Swt menegaskan bahwa ke-imanan (tauhid), merupakan syarat
mutlaq untuk menjadi pasangan hidup seseorang. Sebab, pernikahan itu sebenarnya
tidak hanya berlangsung di alam fana’, tetapi hingga sampai pada kehidupan
abadi (surga). Apa yang dilakukan Dewi sudah salah dari awal, dia sebagai seorang muslim
seharusnya tau jika menjalin hubungan dengan laki-laki nonmuslim itu dilarang
agama Islam.
SARAN
Setelah kita mengetahui akan hukum islam dalam menyikapi masalah hubungan seorang umat yang berbeda agama. Maka, selayaknya kita harus benar-benar
menjaga diri kita dan bahkan tidak boleh kita melakukan hal yang memang kita
tahu bahwa hal itu sebuah larangan dari Allah SWT.
Karena sejatinya, untuk menjaga diri kita kita harus menjaga aturan agama kita.
Seiring dengan itulah, keselamatan dunia akhirat akan kita dapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis
Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Ictiar Baru Hoeve, Jakarta, 1996.
Wacana, Edisi
8, Tahun II/2001.
M. Luqman Hakim
(ed), Deklarasi Islam tentang HAM, Risalah Gusti, Surabaya, 1993.
Ham dalam
Konstitusi Indonesia, Jawahir Thontowi.Phd - See more at:
http://eduside.blogspot.com/2013/07/makalah-perkawinan-bedaagama.html#sthash.lJhA0SJG.dpuf