Pages

16 Desember 2014

TINJAUAN PUSTAKA : PENYAKIT MENULAR FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA)

MAKALAH TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT MENULAR FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA)


 

       OLEH 
       KELOMPOK 11
   MUHAMMAD ATTIJANI                                      I1A114078
   IZAL PUJI SANTOSO                                            I1A114211
  INDRA MAULANA SUSARIANTO                     I1A114072
  SARTIKA BESTARINI SARI                                I1A114055
   NUR AFNY ABDILLA                                           I1A114046
   KHUSNUL KHOTIMAH                                        I1A114023
  CITRA PERTIWI ANWAR                                     I1A114209
   ROSIDAH                                                                I1A114212
   SITI NUR AISYAH                                                 I1A114236
    NOVIA  DEWI                                                         I1A114084

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
 2014



BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang



    Berbagai jenis penyakit saat ini semakin banyak muncul. Salah satu penyebabnya adalah gaya hidup dan lingkungan yang semakin tidak sehat. Secara umum ada dua jenis penyakit, yaitu penyakit menular dan tidak menular. Dalam kelompok penyakit menular ada yang ringan dan ada yang berat. Yang ringan misalnya influenza dan diare. Sedangkan yang berat seperti HIV/AIDS, polio, demam berdarah, campak, TBC, malaria, flu burung, SARS, dan sederet penyakit lainnya. Menular atau tidaknya suatu penyakit tetap harus diwaspadai dan tidak boleh dianggap remeh, karena ketika seseorang terkena suatu penyakit aktivitas kehidupannya akan terganggu. Apalagi jika penyakitnya sudah parah, bisa mengakibatkan kematian . salah satu penyakit menular yang mematikan adalah flu burung (avian influenza). Wabah penyakit flu burung yang melanda dunia, khususnya kawasan Asia, memang sangat menjadi perhatian, baik masyarakat luas maupun badan kesehatan dunia seperti WHO. Hal ini disebabkan oleh flu burung yang dapat menular pada manusia dan berakibat fatal karena dapat membawa kematian. Kasusnya sangat gencar diberitakan diberbagai media massa sehingga membuat resah banyak pihak. Bahkan, World Health Organization (WHO) mengkhawatirkan virus flu burung akan menjadi ancaman serius di kawasan Asia melebihi tsunami yang pernah terjadi pada akhir 2004 di Aceh, Thailand, Bangladesh, Sri langka, dan India (1).

    Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun ikut memperingatkan bahwa flu burung lebih berbahaya dari penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), karena virus flu burung mampu menekan sistem imunitas tubuh manusia. Pada awal tahun 1918, wabah pandemik virus influenza telah membunuh lebih dari 40.000 orang, dimana subtipe yang mewabah saat itu adalah virus H1N1 yang dikenal dengan “Spanish Flu”. Tahun 1957 virus bermutasi menjadi H2N2 atau “Asian Flu” menyebabkan 100.000 kematian. Tahun 1968 virus bermutasi menjadi H3N2 atau “Hongkong Flu” menyebabkan 700.000 kematian. Akhirnya pada tahun 1997, virus bermutasi lagi menjadi H5N1 atau “Avian influenza” Di Asia Tenggara kebanyakan kasus flu burung terjadi pada jalur transportasi atau peternakan unggas sebagai jalur migrasi burung liar. Hingga 6 Juni 2007, WHO telah mencatat sebanyak 310 kasus dengan 189 kematian pada manusia yang disebabkan virus ini termasuk Indonesia dengan 99 kasus dengan 79 kematian. Hal ini dipengaruhi oleh mata pencaharian sebagian penduduk Indonesia sebagai peternak unggas, sehingga Indonesia rawan terhadap penyebaran penyakit flu burung. Selain itu, Kurangnya pengetahuan sebagian penduduk Indonesia tentang flu burung ikut pula mempengaruhi laju penyebaran flu burung (1).


B. Rumusan Masalah

Terdapat beberapa rumusan masalah berdasarkan latar belakang tersebut, yakni :

1. Apa itu flu burung ?

2. Apakah penyebab dari penyakit flu burung?

3. Bagaimana pencegahan dari penyakit flu burung?


C. Tujuan 

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan terkini mengenai flu burung dan cara pencegahannya.



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi dan Kasus–kasus Flu Burung (Avian Influenza)
     Flu Burung adalah penyakit influenza pada unggas, baik burung, bebek,ayam, serta beberapa binatang lain seperti babi. Penyebab flu burung adalah virus Influenza, yang termasuk tipe A subtype H5, H7, dan H9. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 sebagai wabah yang menjangkiti ayam dan burung di Italia, yang disebut juga sebagai “Penyakit Lombardia” mengikuti nama sebuah daerah lembah di hulu sungai Po. Meskipun di tahun 1901 Centanini dan Savonucci berhasil mengidentikfikasi organisme mikro yang menjadi penyebab penyakit tersebut, baru di tahun 1955 Schafer dapat menunjukkan ciri-ciri organisme itu sebagai virus influensa A. Dalam penjamu alami yang menjadi reservoir virus flu burung, yaitu burung-burung liar, infeksi yang terjadi biasanya berlangsung tanpa gejala (asimtomatik) karena virus influensa A itu dari jenis yang berpatogenisitas rendah dan hidup bersama secara seimbang dengan penjamu-penjamu tersebut (1).

    Ketika turunan (strain) virus influensa unggas berpatogenisitas rendah (Low Pathogenic Avian Influenza Virus, LPAIV) ditularkan dari unggas “resorvoir” ke ternak unggas yang rentan, seperti ayam dan kalkun (sebuah pijakan untuk penularan lintas spesies), pada umumnya hewan-hewan itu hanya menunjukkan gejala-gejala yang ringan. Tetapi ketika spesies unggas tersebut menjadi sebab dari terjadinya beberapa siklus penularan, turunan (strain) virus tersebut dapat mengalami serangkaian mutasi yang beradaptasi dengan penjamunya yang baru. Virus influensa A subtipe H5 dan H7 bukan saja mengalami fase adaptasi dengan penjamu tetapi dapat pula berubah secara meloncat melalui mutasi insersi menjadi bentuk yang sangat patogen (Hinghly Pathogenic Avian Influenza Virus, HPAIV), yang mampu menimbulkan penyakit sistemik yang ganas dan mematikan secara cepat. Virus jenis HPAI tersebut dapat muncul secara tidak terduga dan sebagai tipe yang sama sekali baru (de novo) dalam unggas yang terkena infeksi oleh progenitor LPAI dari jenis subtipe H5 dan H7. Infeksi oleh virus HPAI pada unggas ditandai dengan gejala yang mendadak, berat dan berlangsung singkat, dengan mortalitas mendekati 100% pada spesies yang rentan. Akibat kerugian ekonomis yang sangat besar terhadap industri ternak unggas, HPAI mendapat perhatian yang sangat besar di kalangan kedokteran hewan dunia dan segera diberlakukan sebagai penyakit yang wajib segera dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Karena potensinya untuk dapat menurunkan HPAIV, penyakit LPAI dari subtipe H5 dan H7 juga dikenakan wajib dilaporkan (OIE 2005). Sebelum tahun 1997, HPAI merupakan penyakit yang sangat jarang terjadi, dengan hanya ada 24 kejadian primer yang dicatat di seluruh dunia sejak tahun 1950-an. Tetapi akhir-akhir ini influenza unggas memperoleh perhatian dunia ketika ditemukan ada strain (turunan) dari subtipe H5N1 yang sangat patogen, yang mungkin sudah muncul di China Selatan sebelum tahun 1997, menyerang ternak unggas di seluruh Asia Tenggara dan secara tidak terduga melintasi batas antar kelas ketika terjadi penularan dari burung ke mamalia. Akhir tahun 2003 flu burung mulai merebak di Asia tetapi baru diberitakan awal tahun 2004. Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus avian infuenza jenis H5N1 pada unggas dikonfirmasikan telah terjadi di Republik Korea, Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, China, Indonesia dan Pakistan. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinfeksi (2).

     Di Indonesia pada bulan Januari 2004 di laporkan adanya kasus kematian ayam ternak yang luar biasa (terutama di Bali, Botabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Jawa Barat). Awalnya kematian tersebut disebabkan oleh karena virus new castle, namun konfirmasi terakhir oleh Departemen Pertanian disebabkan oleh virus flu burung (Avian influenza (AI)). Jumlah unggas yang mati akibat wabah penyakit flu burung di 10 propinsi di Indonesia sangat besar yaitu 3.842.275 ekor (4,77%) dan yang paling tinggi jumlah kematiannya adalah propinsi Jawa Barat (1.541.427 ekor). Pada bulan Juli 2005, penyakit flu burung telah merenggut tiga orang nyawa warga Tangerang Banten, Hal ini didasarkan pada hasil pemeriksaan laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes Jakarta dan laboratorium rujukan WHO di Hongkong. Pada bulan Juli 2005 ditemukan untuk pertama kali di Indonesia kasus flu burung pada manusia. Indonesia menyusul Thailand, Vietnam, dan Kamboja yang sudah terlebih dahulu melaporkan terjadinya infeksi flu burung subtipe H5N1 pada manusia. Kematian pasien flu burung di Bengkulu pada tahun 2012 lalu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah korban H5N1 tertinggi di dunia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia, WHO (3).

     Menurut WHO, dari 349 kematian akibat flu burung di seluruh dunia sejak 2003 hingga 2012, ada 155 diantaranya terjadi di Indonesia dan hampir 80 persen berakhir dengan kematian. (4)

     Selama tahun 2014 ini sudah ada dua kasus flu burung H5N1 pada manusia yang dilaporkan di Indonesia yakni satu kasus terjadi di Jawa Tengah pada bulan April dan satu kasus di Jakarta pada bulan Juni ini. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan melalui media Republika pada 18 Juni 2014 bahwa selama bulan April-Juni 2014 baru negara Indonesia yang melaporkan adanya kasus flu burung H5N1 pada manusia. Meskipun demikian, kalau dari tren epidemiologi yang ada maka ‎diperkirakan tidak akan ada peningkatan kasus berarti, baik di dunia maupun juga di Indonesia. Lebih lanjut dia mengatakan pola transmisi flu burung juga sejauh ini belum berubah‎, dimana penularan tidaklah terlalu mudah terjadi. Kasus H5N1 yang terjadi di bulan Juni ini dialami oleh Reza Ahmadi (33 tahun) meninggal di RS Islam Pondok Kopi. Memang berdasarkan pemeriksaan di Laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan adalah konfirm H5N1 dengan realtime dan konvensional PCR. Dengan demikian kasus Flu Burung (H5N1) di dunia yang telah dilaporkan sejak Januari hingga Juni tahun 2014 berasal dari lima negara yakni: Kamboja sembilan kasus, Mesir dua kasus, Indonesia dua kasus, Vietnam dua kasus dan China dua kasus. Selanjutnya secara total ada 666 kasus flu burung (H5N1) yang terkonfirmasi laboratorium di dunia dari 15 negara, 393 diantaranya (59 persen) meninggal dunia. Berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium negara terbanyak melaporkan kasus flu burung (H5N1) di dunia sebagai berikut: Indonesia 197 kasus, Mesir 175 kasus, Vietnam 127 kasus, Kamboja 56 kasus dan China 47 kasus (5).

    Selain virus flu burung H5N1 yang telah banyak menyebabkan kematian di dunia, Virus baru flu burung mengancam Cina, dari tahun 2013 sudah sembilan orang terjangkit virus dan empat di antaranya dinyatakan meninggal dunia. Dua orang merupakan warga Shanghai. Virus yang mewabah kali ini merupakan virus jenis baru yaitu H7N9, berbeda dengan H5N1 yang beberapa waktu silam sempat menggegerkan dan merenggut banyak korban dari seluruh dunia. Virus H7N9 ini belum pernah diketahui menyebabkan penyakit pada manusia karena umumnya hanya mengancam burung. Penelitian terbaru yang dipublikasikan melalui Journal of Virology mengungkapkan bahwa strain H7 merupakan keluarga dari virus flu yang telah menyebabkan lebih dari 100 kasus infeksi pada manusia selama dekade terakhir. Tahun 2003, wabah H7N7 sempat menghantui Belanda dan menyebabkan 89 orang terinfeksi serta satu orang meninggal dunia. Huruf "H" dan "N" yang tertera pada nama virus mengacu pada hemagglutinin dan neuraminidase, merupakan protein pada permukaan virus. Lebih lanjut, Richard Webby, ahli flu burung dan peneliti penyakit infeksi di St Jude Children Research Hospital, menjelaskan, terdapat 16 jenis hemagglutinin dan sembilan jenis neuraminidase (6).

  Gejala-gejala yang ditimbulkan bila seseorang terinfeksi virus H7 yaitu mengalami infeksi saluran pernapasan berlanjut ke pneumonia. Di masa lalu, virus H7 juga dapat menyebabkan konjungtivitas atau infeksi mata, namun tidak menular antar orang. Para ahli sejak lama takut virus itu akan bermutasi menjadi bentuk yang bisa dengan mudah berpindah dari satu manusia ke manusia lain. Dalam studi terbaru tahun 2013 ini, Chang-jun Bao dari Pusat Pencegahan dan Kontrol Penyakit di provinsi Jiangsu, Cina melaporkan kasus yang menimpa seorang laki-laki berusia 60 tahun yang meninggal di rumah sakit setelah terpapar virus H7N9, yang kelihatannya telah ia tularkan kepada anak perempuannya. Perempuan berusia 32 tahun yang telah merawat ayahnya lebih dari satu pekan itu, juga akhirnya meninggal di rumah sakit. Ia diketahui tidak punya akses untuk berpotensi tertular dari unggas, yang membawa para penyelidik menyimpulkan bahwa “penjelasan yang paling mungkin“ untuk penyakitnya adalah transmisi virus secara langsung dari ayahnya, yang secara rutin mengunjungi pasar unggas hidup. Selain paparan sekresi pernafasan dari ayahnya selama ia merawat, anak perempuan itu tidak terkena paparan dari unggas atau sumber infeksi lainnya. Uji genetik atas sampel virus dari dua pasien itu juga terungkap “hampir identik”. Meskipun bukti ini menunjukkan penularan langsung, namun kemampuan virus untuk berpindah antar manusia “terbatas dan tidak berkelanjutan,“ demikian diungkapkan oleh artikel di jurnal tersebut. Tak ada dari 43 orang yang memiliki kontak dekat dengan kedua pasien itu, termasuk para staf rumah sakit, yang terjangkit. Temuan ini menujukkan bahwa kerentanan genetik mungkin berpotensi menjadi salah satu faktor penentu dan bahwa virus avian influenza lebih mudah menular antar individu yang memiliki kaitan genetic (7).

      Pasar unggas berperan sebagai tempat penularan/transmisi virus antar spesies karena bila ada unggas yang subklinis Avian influenza, yaitu unggas terinfeksi virus Avian influenza tetapi tidak menunjukkan gejala klinis maka oleh masyarakat unggas tersebut dianggap sehat. Selama penjualan unggas subklinis tersebut menyebarkan virus ke lingkungan sehingga menyebabkan hewan lain terpapar. Beberapa pasar unggas di Pulau Jawa terkontaminasi virus Avian influenza yang mencapai 50%. Hasil riset ini mendukung hipotesis bahwa virus Avian influenza telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Hot spot (contaminated area) flu burung di wilayah lainnya sebesar 7,16% serum ayam buras rakyat yang terdapat di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat positif mengandung antibodi terhadap virus Avian influenza. Penelitian juga membuktikan 0,84% bahwa serum dari ayam yang tidak divaksin menunjukkan hasil positif terhadap Avian influenza di Kalimantan (8).


B. Gejala dan Penyebab Flu Burung

Virus influenza adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat panjang, merupakan genome RNA rangkaian tunggal dengan jumlah lipatan tersegmentasi sampai mencapai delapan lipatan, dan berpolaritas negatif. Virus influensa merupakan nama generik dalam keluarga Orthomyxoviridae dan diklasifikasikan dalam tipe A, B atau C berdasarkan perbedaan sifat antigenik dari nucleoprotein dan matrix proteinnya. Virus influensa unggas (Avian Influenza Viruses, AIV) termasuk tipe A. Telaahan yang sangat bagus mengenai struktur dan pola replikasi virus-virus influensa sudah dipublikasikan baru-baru ini Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku dan tindakan seseorang oleh karena itu pengetahuan masyarakat dalam kaitannya dengan penyebaran penyakit flu burung sangat penting untuk melihat sejauh mana pengetahuan mereka tentang penyebab, cara penularan dan pencegahan penyakit flu burung agar terhindar kemungkinan terjangkit penyakit flu burung. Faktor kebersihan lingkungan kandang dan personil kandang adalah salah satu bagian biosekuriti dan merupakan aspek potensial yang mempengaruhi kemungkinan masuknya agen penyakit ke dalam peternakan. Penyebaran virus flu burung antar kandang dapat dikurangi dengan selalu menjaga kebersihan kandang beserta peralatannya, apalagi jika selalu menggunakan desinfektan yang tepat7. Pergerakan orang seperti peternak, Dokter Hewan, maupun tamu di peternakan merupakan salah satu faktor penyebaran virus flu burung antar kandang. Menurut Marangon dan Capua (2005), analisis yang dilakukan terhadap kasus wabah HPAI di Italia selama tahun 1999/2000 menunjukkan bahwa 9,4% penularan secara tidak langsung karena pertukaran karyawan, alat-alat dan lain-lain (9).

     Faktor jarak antar kandang di peternakan penting untuk diperhatikan karena semakin dekat jarak antar kandang juga akan meningkatkan risiko tertular penyakit jika peternakan tetangga terdekat terkena penyakit. Sebuah penelitian di Italia menunjukkan bahwa 26,2% kejadian flu burung dijumpai pada lingkungan dalam radius satu kilometer di seputar peternakan terserang. Ternak unggas dalam radius 5-6 kilometer dari lokasi positif flu burung harus terus diwaspadai. Sedangkan IEC dalam sebuah workshop di Hanoi menyatakan bahwa virus flu burung dapat ditularkan oleh burung atau hewan liar dalam radius 10 km dari lokasi positif flu burung, sehingga dalam radius tersebut dianggap sebagai zona tertular yang harus diwaspadai. Faktor sistem pemeliharaan tidak satu umur merupakan salah satu aspek potensial yang mempengaruhi kemungkinan penyebaran penyakit flu burung dalam peternakan. Salah satu langkah untuk penanggulangan penyebaran virus flu burung antar kandang adalah dengan menerapkan biosekuriti yang ketat, sistem pemeliharaan all-in all-out, selalu menjaga kebersihan kandang dan petugas kandang beserta peralatannya, serta menggunakan desinfektan yang tepat (10).

     Tanda dan gejala flu burung biasanya muncul dalam waktu dua sampai lima hari setelah infeksi. Dalam kebanyakan kasus, gejala flu burung mirip dengan gejala flu biasa seperti:

– Batuk

– Demam

– Sakit tenggorokan

– Nyeri otot

– Beberapa orang juga mengalami mual, muntah atau diare. Dalam beberapa kasus, infeksi mata ringan (konjungtivitis) merupakan satu-satunya indikasi infeksi flu burung.

     Flu burung terjadi secara alami diantara unggas air liar dan dapat menyebar ke unggas domestik, seperti ayam, kalkun, bebek dan angsa. Penyakit ini ditularkan melalui kontak dengan kotoran burung yang terinfeksi, atau kontak dengan sekresi dari hidung, mulut, atau mata unggas. Pasar terbuka, di mana telur dan daging unggas dijual bebas dalam lingkungan yang tidak higienis, merupakan sarang infeksi dan dapat menyebarkan penyakit ini ke masyarakat luas. Menurut Food and Drug Administration, flu burung tidak akan ditularkan melalui daging atau telur unggas terinfeksi yang sudah dimasak dengan benar. Daging unggas aman dikonsumsi jika sudah dimasak dengan suhu hingga 74 derajat Celsius. Agar aman, telur juga harus dimasak hingga matang betul (10).

     Unggas yang terinfeksi, mengeluarkan lendir dari mulut atau hidung atau kotorannya. Unggas-unggas yang lain rentan terkena kontaminasi karena mereka umumnya hidup berkelompok, sangat mudah untuk menularkan dari satu ke yang lain. Manusia lalu terinfeksi karena terjadi kontak dengan unggas yang sakit tersebut atau lingkungan yang telah terkontaminasi. Karena virus ini bisa menular bukan saja lewat barang yang telah terkontaminasi dengan kotoran unggas yang sakit, tapi juga melalui udara dan air (11).

      Unggas yang terkena flu burung akan ditandai dengan :

· mata menjadi putih (pada unggas / itik) 

· nafsu makan berkurang 

· lemas ; kejang ; jengger yang bengkak dan biru 

· leher terputar 

· bintik-bintik perdarahan di kaki 

· keluar cairan jernih sampai kental di mata, hidung dan mulut 

· mencret yang berlebihan 

· gangguan pernafasan 

· kematian.

     Sedangkan pada manusia setelah melewati masa inkubasi, antara 1 – 7 hari akan timbul gejala berikut :

· Demam tinggi (lebih dari 38 derajat Celsius) 

· Sakit kepala 

· Batuk-pilek 

· Sakit tenggorokan 

· Nyeri otot 

· Lemas 

· Kadang diare ;

· Radang paru akut (pneumonia) yang diiktui gagal pernafasan dan sering merupakan penyebab kematian.

    Gejala orang yang menderita flu burung memang mirip dengan penderita flu biasa, namun Infeksi flu burung dapat dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium baik melalui biakan virus maupun tes serologi. Sebagai bahan pemeriksaan ialah lendir mulut/hidung/tenggorokan dan kotoran (11).


C. Pencegahan terhadap Penyakit Flu Burung

Ada beberapa cara agar terhindardari penularan penyait flu burung,yakni :

1. Hindari berkunjung ke tempat peternakan/pemotongan/penjualan unggas

2. Hindari memelihara burung/unggas dekat rumah tinggal

3. Sering mencuci tangan dengan sabun atau antiseptik

4. Masak daging/telur unggas sampai suhu mencapai 80 derajat Celsius, minimal 1 menit.

5. Jalankan pola hidup sehat supaya daya tahan tubuh kuat

6. Vaksinasi

       Dari penelitan yang dilakukan oleh Murwanti dkk tahun 2013 lalu yang di publikasikan dalam Jurnalnya yang berjudul Studi Penyebaran Penyakit Flu Burung Melalui Kajian Dinamis Revisi Model Endemik SIRS Dengan Pemberian Vaksinasi Unggas bahwa Penyebaran penyakit flu burung dapat dikaji melalui model matematika melalui revisi model endemik SIRS dengan memperhatikan pemberian vaksinasi pada unggas. Penelitian dilakukan dengan merevisi kompartemen penyebaran penyakit tersebut yang selanjutnya digunakan untuk menentukan persamaan pembangun model yang direpresentasikan dalam sistem persamaan diferensial. Sistem tersebut menggambarkan interaksi antara kelompok manusia dan kelompok unggas. Analisa kestabilan sistem di kedua titik kritisnya dilakukan dengan menentukan nilai eigen sistem yang diperoleh dari determinan matriks jacobi linearisasi sistem di masing-masing titik kritis. Kestabilan sistem selanjutnya diamati dibidang (πœ‚,) yang dibagi oleh kurva parameter πœ‡π‘ = πœ‚. Kedua parameter tersebut secara berturut-turut menyatakan tingkat vaksinasi unggas dan tingkat kematian alami populasi unggas. Kestabilan di titik kritis kedua membutuhkan syarat bahwa tingkat kematian manusia karena flu burung (𝛼𝑛) harus lebih kecil dari tingkat kelompok manusia yang telah sembuh dari flu burung terjangkit penyakit kembali (𝛿). Hasil simulasi memperlihatkan bahwa penyebaran penyakit flu burung dapat diturunkan dengan program vaksinasi bila tingkat vaksinasi unggas lebih besar dari tingkat kematian alami unggas (12).

    Flu burung berpotensi menjadi wabah di dunia, namun metode untuk melawan penyakit akibat virus ini masih jauh dari harapan. Sejauh ini, FDA telah menyetujui penggunaan beberapa vaksin yang dapat mencegah flu burung, akan tetapi masing-masing vaksin tersebut hanya efektif untuk satu jenis strain virus. Suatu vaksin baru, yaitu vaksin DNA, diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih luas lagi. Penyakit flu burung (avian influenza), yang disebabkan oleh suatu varian virus H5N1, telah menjangkiti jutaan unggas di seluruh dunia. Virus ini bermutasi dengan cepat, dan telah menyebabkan 250 orang meninggal. "Semua orang takut bahwa virus ini akan bermutasi lagi sehingga dapat dengan mudah ditularkan dari satu orang ke orang yang lain, ini mungkin adalah ancaman wabah terbesar yang akan kita hadapi saat ini", kata David Ho, seorang guru besar pada Universitas Rockefeller. Kemampuan virus untuk cepat bermutasi ini merupakan faktor terpenting sulitnya melawan flu burung. Untuk mengatasi hal ini, Ho bersama koleganya melakukan penelitian terhadap vaksin baru yang diharapkan dapat melawan virus flu burung secara broad-acting. Vaksin ini dibuat dari DNA yang telah dimodifikasi secara genetis (12).

     Vaksin DNA memiliki berbagai keunggulan, yaitu lebih stabil, tahan lama, tidak perlu dibekukan, cepat dimodifikasikan, serta murah apabila ingin diproduksi massal. Akan tetapi vaksin DNA juga memiliki kekurangan, yaitu tidak efektif apabila disuntikkan secara biasa. Untuk mengatasi hal ini, Ho mengembangkan suatu metode elektroporasi, yaitu dengan cara mengkombinasikan vaksin dengan suatu rangsangan listrik kecil di lokasi suntikan. Pada uji tahap awal, metode ini berhasil meningkatkan asupan DNA oleh sel otot. Hasil percobaan vaksin DNA ini dilaporkan dalam edisi terbaru Proceedings of the National Academy of Sciences. "Tikus yang diberi injeksi vaksin DNA memiliki respon antibodi yang bagus terhadap berbagai jenis strain virus H5N1", kata Ho. "Ini adalah temuan yang menarik", kata Peter Palese, ketua jurusan mirobiologi pada Mount Sinai School of Medicine di New York. "Vaksin ini perlu dicobakan ke manusia". Hal yang membuat vaksin ini sangat menarik adalah kemampuannya untuk merangsang kekebalan terhadap beragam strain virus. Vaksin yang tersedia sekarang hanya terbatas untuk strain virus tertentu, masalahnya adalah bila virus bermutasi cepat, maka vaksin tersebut menjadi tidak efektif lagi. Vaksin yang baru ini diharapkan dapat mengatasi hal tersebut (12).

    Selain itu, Artina Prastiwi seorang mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta berhasil menemukan vaksin penghambat virus H5N1 (flu burung). Vaksin itu bukan berasal dari bahan kimia, tapi organik atau herbal dari ekstrak buah Mahkota Dewa (Phaleria Macrocarpa) yang dipublikasikan pada tahun 2011 lalu. Artina mengatakan bahwa ekstrak buah Mahkota Dewa mengandung senyawa saponin yang berfungsi untuk menghambat perkembangan virus flu burung. Senyawa itu dalam dosis yang tepat bisa menghambat virus mencapai 87 persen. Melalui beberapa kali penelitian, akhirnya ditemukan dosis yang tepat untuk menghambat virus tersebut secara efektif dalam diri unggas. Dari hasil penelitiannya, dosis yang tepat adalah 10 persen. Kadar saponin yang dibutuhkan untuk menghambat perkembangan virus tersebut adalah 10 miugram/mililiter (ml). Vaksin yang digunakan untuk disuntikkan ke unggas sendiri hanya 0,2 ml. Pada penelitian pertama menggunakan telur ayam berembrio yang telah diberikan virus flu burung. Telur tersebut kemudian disuntik beberapa dosis ekstrak mahkota dewa. Telur tersebut kemudian diinkubasi selama 35 hari, hasilnya embrio tidak mati, sehat dan tanpa bekas luka. Namun ketika konsentrasi dosis saponin di tingkatkan menjadi 15 hingga 20 persen semua embrio di telur tersebut mati. Terjadi perdarahan di seluruh tubuh, terjadi kekerdilan dan cairan alantois keruh. Ini membuktikan kadar saponin yang digunakan harus tepat karena kalau kelebihan mengakibatkan keracunan. Bila kurang juga tidak mampu menghambat laju virus.Setelah melalui uji beberapa kali, peneliti kemudian menguji pada unggas secara langsung dengan kadar 0,2 ml dalam satu dosis untuk unggas usia di bawah 21 hari dan ditambah menjadi 0,5 ml untuk unggas di atas usia 21 hari. Menurutnya, untuk mendapatkan buah mahkota dewa juga sangat mudah karena banyak ditemukan di wilayah DIY dan Jawa Tengah. Untuk menghasilkan vaksin flu burung dalam satu dosis tersebut (0,2 ml) dibutuhkan kulit buah Mahkota Dewa sebanyak 3 gram untuk kemudian diekstrak menjadi vaksin. Ekstrak itu masih harus dicampur dengan pelarut agar bisa cepat terserap dalam tubuh ungags. Dia mengharapkan vaksin flu burung organik bisa diproduksi secara massal. Sebab, vaksin yang beredar saat ini selain mengandung bahan kimia yang juga memberikan efek samping negatif pada unggas harganya cukup mahal. Untuk 100 dosis vaksin flu burung yang beredar saat ini harganya bisa mencapai Rp 200 ribu. Tetapi untuk vaksin herbal ini bisa dijual dengan harga Rp 75 ribu untuk setiap 100 dosisnya (13).

    Kasus AI di lapangan ternyata masih tetap ada meskipun telah dilakukan tindakan vaksinasi dan biosekuriti yang memadai. Pencegahan terhadap penyakit AI telah dilakukan dengan vaksinasi, baik menggunakan vaksin aktif maupun vaksin ianaktif. Vaksin yang terbaik adalah vaksin dengan kandungan agen yang sama dengan virus yang ada lapangan, di samping melakukan vaksinasi, upaya penanggulangan penyakit AI juga dengan program bioskuriti yang ketat. Langkah biosekuriti meliputi depopulasi unggas terutama pada daerah tertular didahului dengan stampling out, dilanjutkan dengan pengisian kembali kandang dengan ternak baru yang bebas dari penyakit AI. Pemantauan terhadap penyakit AI hendaknya dilakukan secara berkesinambungan disertai dengan penyuluhan yang berulang- ulang untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan bahaya penyakitnya. Langkah-langkah antisipasi perlu dilakukan untuk mencegah dampak buruk yang tidak diinginkan yang bisa berakibat fatal, berupa kematian ternak maupun kematian pada manusia. Pemahaman masyarakat akan penyakit AI sangat diperlukan dalam upaya mengatasi ancaman penyakit yang sangat berbahaya ini. Perlu diwaspadai pula bahwa proses penularan virus AI secara cepat banyak terjadi di pasar unggas akibat adanya kontak langsung antar unggas sakit dengan unggas yang sehat (6).



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

      Flu Burung adalah penyakit influenza pada unggas, baik burung, bebek,ayam, serta beberapa binatang lain seperti babi. Penyebab flu burung adalah virus Influenza, yang termasuk tipe A subtype H5, H7, dan H9. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 sebagai wabah yang menjangkiti ayam dan burung di Italia (Perroncito, 1878), Menurut WHO, dari 349 kematian akibat flu burung di seluruh dunia sejak 2003 hingga 2012, ada 155 diantaranya terjadi di Indonesia dan hampir 80 persen berakhir dengan kematian. Sejak terjadinya wabah Avian Influenza (Al) pada unggas di Indonesia yang dideklarasi pada bulan Januari 2004, kasus secara bertahap menurun cukup signifikan setiap tahun yakni th. 2007 = 2.751 kasus, th. 2008 = 1.413 kasus,th 2009 = 2293 kasus, th.2010 = 1502 kasus, th. 2011 = 1.411 kasus, th. 2012 = 546kasus dan th. 2013 = 477 kasus.

       Selain virus flu burung H5N1 yang telah banyak menyebabkan kematian di dunia, Virus baru flu burung mengancam Cina, dari tahun 2013 sudah sembilan orang terjangkit virus dan empat di antaranya dinyatakan meninggal dunia. Dua orang merupakan warga Shanghai. Virus yang mewabah kali ini merupakan virus jenis baru yaitu H7N9, berbeda dengan H5N1 yang beberapa waktu silam sempat menggegerkan dan merenggut banyak korban dari seluruh dunia. Virus H7N9 ini belum pernah diketahui menyebabkan penyakit pada manusia karena umumnya hanya mengancam burung. 

     Gejala orang yang menderita flu burung memang mirip dengan penderita flu biasa, namun Infeksi flu burung dapat dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium baik melalui biakan virus maupun tes serologi. Sebagai bahan pemeriksaan ialah lendir mulut/hidung/tenggorokan dan kotoran. 

       Ada beberapa cara agar terhindardari penularan penyait flu burung,yakni :

1. Hindari berkunjung ke tempat peternakan/pemotongan/penjualan unggas

2. Hindari memelihara burung/unggas dekat rumah tinggal

3. Sering mencuci tangan dengan sabun atau antiseptik

4. Masak daging/telur unggas sampai suhu mencapai 80 derajat Celsius, minimal 1 menit.

5. Jalankan pola hidup sehat supaya daya tahan tubuh kuat

6. Vaksinasi

     Kemampuan virus ini untuk cepat bermutasi merupakan faktor terpenting sulitnya melawan flu burung. Untuk mengatasi hal ini, beberapa peneliti bersama koleganya melakukan penelitian terhadap vaksin baru yang diharapkan dapat melawan virus flu burung secara broad-acting. Vaksin ini dibuat dari DNA yang telah dimodifikasi secara genetis dan adajuga yang terbuat dari ekstrak buah Naga yang ditemukan oleh seorang Mahasiswi Universitas Gadjah Mada. 


B. Saran

      Flu Burung merupakan penyakit menular yang mematikan dan sangat berbahaya, penyebarannya pun sangat cepat melalui unggas yang telah terjangkit virus Avian Influenza, bahkan ada penelitian dari Cina yang menyebutkan bahwa virus ini dapat menular dari manusia ke manusia lainnya yang punya kesamaan genetic,seperti ayah dan anak. Maka dari ituah perlunya lagi penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang penyakit flu burung ini agar penyebarannya tidak meluas dan tidak ada sampai menimbulkan korban jiwa, selain itu Peru juga diteliti mengenai vaksin yang lebih banyak lagi guna melawan virus yang berbahaya ini.




DAFTAR PUSTAKA


1.        Murwanti, R. Ratianingsih, A.I. Jaya. Studi Penyebaran Penyakit Flu Burung Melalui Kajian Dinamis Revisi Model Endemik SIRS Dengan Pemberian Vaksinasi Unggas. Online Jurnal of Natural Science 2 (1) : 27-35. 2013
2.        Widya Sukoco, N E, Pranata, S. Perilaku Beresiko Peternak Unggas dan Kejadian Flu Burung di Desa Mojotamping Kecamatan Bangsal Kabupaten Mojokerto Provinsi Jawa Timur. Jurnal Penelitian Sistem Kesehatan. 15 (1) : 47–54. 2012
3.        Arindayani. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Masyarakat tentang Flu Burung di Kelurahan Manis Jaya Tangerang tahun 2009. Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2 (15). 2009
4.        Natsir, Muhlis. Faktor Risiko Kejadian Flu Burung pada Peternakan Unggas Rakyat Komersial di Kabupaten Sindereng Rappang  2007-2009. Jurnal Kesehatan hewan Kementerian Pertanuan Badan Karantina Pertanian Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Pare-Pare XX (5). 2010.
5.        Yuniati, G A, dkk. Pelacakan Kasus Flu Burung pada Ayam dengan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction. Jurnal Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Unud. 13 (3): 303-30. 2012
6.        Umi Rasmi. H7N9. Virus Baru Flu Burung di Cina. Artikel Nasional Geographic Indonesia http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/h7n9-virus-baru-flu-burung-di-cina. 2013
7.        Virus Flu Burung H7N9 Menular Antar Manusia. Artikel http://www.ddw.dw/virus-flu-burung-h7n9-menular-antar-manusia/a-17002987. 2013
8.        Darmawi, dkk. Deteksi Antibodi Serum Terhadap Virus Avian influenza pada Ayam Buras. Fakultas Kedokteran Hewan.  Jurnal Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. 12 (1). 2012
9.        Basri C., Noor, G.M.S., Jatikusumah, A., dan Sunandar. Deteksi Sirkulasi virus Avian influenza H5N1 pada tempat penampugan ayam di Propinsi DKI Jakarta. Proceeding of AZWMC: 295 – 297.  2012
10.    Mohammad, Kartono. Flu Burung. Adapted from www.InfluenzaReport.comby Bernd Sebastian Kamps, Christian Hoffman, Wolfgang Preiser.
11.    Widjaja, Sutopo. Flu Burung—Penyebab dan Pencegahannya?. DOKITA (Dokter Kita) http://dokita.co/blog/flu-burung-penyebab-dan-pencegahannya/. 2013
12.    Melawan Flu Burung dengan vaksin DNA. Artikel Kesehatan dan Informasi Penyakit.http://www.amazine.co/26205/flu-burung-dengan-faktor-resikonya/2014
13.    Murwanti, R. Ratianingsih, A.I. Jaya. Studi Penyebaran Penyakit Flu Burung Melalui Kajian Dinamis Revisi Model Endemik SIRS Dengan Pemberian Vaksinasi Unggas. Jurusan Matematika FMIPA Universitas Tadulako, Jalan Sukarno-Hatta Palu. Online Jurnal of Natural Science, Vol. 2 (1): 27-35. 2013

0 komentar:

Posting Komentar