Pages

16 Desember 2014

TINJAUAN PUSTAKA : PENYAKIT DIABETES MELLITUS (DM)


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang


Menurut American Diabetes Association (ADA), diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau bisa karena kedua-duanya yang juga merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia. Berdasarkan data pada laporan World Health Organization (WHO) menyebutkan dari 57 juta kematian global di tahun 2008, 36 juta atau 63% disebabkan karena penyakit tidak menular seperti jantung, diabetes kanker, dan penyakit pernafasan kronis. Dan angka tersebut diprediksikan akan terus meningkat dari tahun- ketahun. Diabetes adalah penyakit yang kompleks dan rumit. Tingkat diagnosa diabetes memberikan kontribusi yang signifikan terhadap komorbiditas dan tingkat komplikasi diabetes. Berdasarkan data histori penderita penyakit diabetes dapat dibuat rekomendasi prediksi penyakit diabetes yang membantu tenaga kesehatan yaitu menggunakan klasifikasi data dengan decision tree (1).

Menurut hasil survey World Health Organization (WHO), jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menduduki ranking ke 4 terbesar di dunia. DM menyebabkan 5% kematian di dunia setiap tahunnya. Diperkirakan kematian karena DM akan meningkat sebanyak 50% sepuluh tahun yang akan datang. DM terbagi atas DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) jika pankreas hanya menghasilkan sedikit atau sama sekali tidak menghasilkan insulin sehingga penderita selamanya tergantung inslin dari luar, biasanya terjadi pada usia kurang dari 30 tahun. DM tipe II atau Non-Insulin Dependent Diabetes (NIDDM) adalah keadaan pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang lebih tinggi dari normal tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya. Biasanya terjadi pada usia di atas 30 tahun karena kadar gula darah cenderung meningkat secara ringan tapi progresif setelah usia 50 tahun terutama pada orang yang tidak aktif dan mengalami obesitas. Penyebab diabetes lainnya adalah kadar kortikosteroid yang tinggi, kehamilan (diabetes gestasional), dan obat-obatan. Sebanyak 80% responden DM menderita DM tipe 2 dan mereka membutuhkan pengobatan secara terus menerus sepanjang hidupnya (2, 3).

Banyak orang awalnya tidak tahu bahwa mereka menderita diabetes mellitus, di negara-negara Asia lebih dari 50 persen penderita diabetes baru mengetahui diri mereka mengidap diabetes setelah mengalami komplikasi di berbagai organ tubuh. Ketidaktahuan ini disebabkan karena minimnya informasi mengenai diabetes, gejalanya dan minimnya tenaga dokter spesialis diabetes. Pengetahuan yang kurang mengenai gejala dan cara menangani penyakit diabetes mellitus serta jumlah dokter spesialis diabetes mellitus yang masih terbatas merupakan salah satu sebab meningkatnya jumlah orang yang terkena penyakit tersebut. Penelitian telah dilakukan untuk membuat sebuah sistem pakar berbasis web yang dapat mengatasi nilai derajat kepercayaan atau faktor kepastian data yang diperoleh dari hasil konsultasi dengan pasien melalui metode certainty factor (4).


B. Rumusan Masalah

Terdapat beberapa rumusan masalah berdasarkan latar belakang tersebut, yakni :

1. Apa itu diabetes mellitus ?

2. Apakah penyebab dari diabetes mellitus?

3. Bagaimana pencegahan dari penyakit diabetes mellitus? 


C. Tujuan 

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan terkini mengenai diabetes mellitus dan cara pencegahannya.




BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi dan Kasus-kasus Diabetes Mellitus

Diabetes merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya, yang berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan organ tubuh terutama pada mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Terdapat beberapa tipe diabetes yang diketahui dan umumnya disebabkan oleh suatu interaksi yang kompleks antara faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup. Pada umumnya dikenal 2 tipe diabetes, yaitu diabetes tipe 1 (tergantung insulin), dan diabetes tipe 2 (tidak tergantung insulin). Diabetes tipe 1 biasanya dimulai pada usia anak-anak sedangkan diabetes tipe 2 dimulai pada usia dewasa. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Jumlah penderita diabetes di Indonesia setiap tahun meningkat. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia.. World Health Organization (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7 juta pada tahun 2009 menjadi 12 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya jumlah peningkatan penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (5,6).

Diabetes mellitus (DM) tipe 1 adalah kelainan metabolik yang disebabkan oleh reaksi autoimun, menyebabkan kerusakan pada sel Ξ² pankreas yang ditandai dengan hiperglikemi kronik akibat kekurangan insulin berat. Dalam perjalanan penyakit DM dapat menimbulkan bermacam-macam komplikasi yaitu komplikasi jangka pendek dan jangka panjang. Komplikasi jangka pendek antara lain hipoglikemi dan ketoasidosis. Ketoasidosis diabetik (KAD) dapat dijumpai pada saat diagnosis pertama DM tipe 1 atau pasien lama akibat pemakaian insulin yang salah. Risiko terjadinya KAD meningkat antara lain pada anak dengan kontrol metabolik yang jelek, riwayat KAD sebelumnya, masa remaja, pada anak dengan gangguan makan, keadaan sosio-ekonomi kurang, dan tidak adanya asuransi kesehatan. Komplikasi jangka panjang terjadi akibat perubahan mikrovaskular berupa retinopati, nefropati, dan neuropati. Retinopati merupakan komplikasi yang sering didapatkan, lebih sering dijumpai pada pasien DM tipe 1 yang telah menderita lebih dari 8 tahun. Faktor risiko timbulnya retinopati antara lain kadar gula yang tidak terkontrol dan lamanya menderita diabetes. Nefropati diperkirakan dapat terjadi pada 25%-45% pasien DM tipe 1 dan sekitar 20%-30 akan mengalami mikroalbuminuria subklinis. Mikroalbuminuria merupakan manifestasi paling awal timbulnya nefropati diabetik. Neuropati merupakan komplikasi yang jarang didapatkan pada anak dan remaja, tetapi dapat ditemukan kelainan subklinis dengan melakukan evaluasi klinis dan pemeriksaan saraf perifer. Komplikasi makrovaskular lebih jarang didapatkan pada anak dan remaja. Komplikasi tersebut dapat terjadi akibat kontrol metabolik yang tidak baik (7).

DM tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari 90%). Kekerapan DM tipe 2 di Indonesia berkisar antara 1,5-2,3% kurang lebih 15 tahun yang lalu, tetapi pada tahun 2001 survei terakhir di Jakarta (Depok) menunjukkan kenaikan yang sangat nyata yaitu menjadi 12,8%. Sekitar 2,5 juta jiwa atau 1,3% dari penduduk Indonesia setiap tahun meninggal dunia karena komplikasi DM. WHO memastikan peningkatan penderita DM tipe 2 paling banyak akan terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Sebagian peningkatan jumlah penderita DM tipe 2 karena kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan DM. Pengetahuan pasien tentang pengelolaan DM sangat penting untuk mengontrol kadar glukosa darah. Penderita DM yang mempunyai pengetahuan yang cukup tentang diabetes, kemudian selanjutnya mengubah perilakunya, akan dapat mengendalikan kondisi penyakitnya sehingga dapat hidup lebih lama (8).

Banyak orang awalnya tidak tahu bahwa mereka menderita diabetes mellitus, di negara-negara Asia lebih dari 50 persen (bahkan ada yang mencapai 85 persen) penderita diabetes baru mengetahui diri mereka mengidap diabetes setelah mengalami komplikasi di berbagai organ tubuh. Seiring dengan perkembangan teknologi dan jaman, teknik identifikasi secara konvensional dinilai sudah tidak praktis dan memiliki berbagai kelemahan. Dalamsuatu penelitian, teknik klasifikasi penyakit diabetes mellitus dapat menggunakan pengekstrasi ciri PCA berdasar ciri alami manusia. Salah satunya adalah dengan menggunakan retina mata manusia sebagai objeknya. Dalam penelitian tersebut digunakan metode ekstrasi ciri secara statistik yang secara luas telah lama digunakan yaitu PCA (Principal Components Analysis). PCA atau Principal component analysis sebagai salah satu metode untuk pengolahan citra masih relatif jarang digunakan sebagai pengekstraksi ciri pola retina mata. Pemilihan metode ekstraksi ciri yang tepat dan efisien sangat menentukan keberhasilan dari sistem klasifikasi secara keseluruhan. Pengujian bertujuan untuk mengklasifikasikan beberapa citra dari basis data Messidor. Citra masukkan berformat TIFF dengan ukuran 680x452. Hasil analisis kemudian diolah dengan 5 variasi komponen utama dan 5 variasi jumlah neuron tersembunyi untuk dikombinasikan yang bertujuan untuk menghasilkan tingkat keberhasilan yang akurat. Dari hasil pengujian kombinasi variasi komponen utama dan jumlah neuron tersembunyi dengan 15 data latih dan 15 data uji memiliki tingkat keberhasilan terbaik yaitu 78,334%. Kombinasi metode PCA dan jaringan saraf tiruan perambatan balik ini teruji cocok untuk mengklasifikasikan penyakit diabetes mellitus (4,9).


B. Gejala dan Penyebab Diabetes Mellitus (DM)

Komplikasi yang dialami penderita DM bervariasi diantaranya komplikasi fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. Komplikasi fisik yang timbul berupa kerusakan mata, kerusakan ginjal, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, stroke bahkan sampai menyebabkan gangrene. Komplikasi psikologis yang muncul diantaranya dapat berupa kecemasan. Gangguan kecemasan yang muncul bisa disebabkan oleh long life diseases ataupun karena komplikasi yang ditimbulkannya. Kecemasan ini jika tidak diatasi akan semakin menyulitkan dalam pengelolaan DM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara tingkat kecemasan terhadap kadar glukosa darah penderita DM yang akan berpengaruh terhadap kualitas hidupnya. Secara sosial penderita DM akan mengalami hambatan umumnya berkaitan dengan pembatasan diet yang ketat dan keterbatasan aktivitas karena komplikasi yang muncul. Pada bidang ekonomi biaya untuk perawatan penyakit dalam jangka waktu panjang dan rutin merupakan masalah yang menjadi beban tersendiri bagi pasien. Beban tersebut ditambah dengan adanya penurunan produktifitas kerja yang berkaitan dengan perawatan ataupun akibat penyakitnya. Kondisi tersebut berlangsung kronis dan bahkan sepanjang hidup pasien DM dan hal ini akan menurunkan kualitas hidup pasien DM. Oleh karena itu, penanganan penyakit ini memerlukan pendekatan yang komprehensif. Penanganan pasien harus memperhatikan keseimbangan dan keutuhan aspek fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. Saat ini penanganan penyakit ini menunjukkan kecenderungan lebih berfokus pada pengaturan pola diet, pengaturan aktivitas fisik, perubahan perilaku, pengobatan yang dilakukan dengan obat – obatan, dan kontrol gula darah, sedangkan penanganan masalah psikologis belum banyak ditangani (11).

Dari penelitian yang lain, diketahui bahwa diabetes melitus sebagian besar disebabkan oleh faktor genetik dan perilaku atau gaya hidup seseorang. Selain itu, faktor lingkungan sosial dan pemanfaatan pelayanan kesehatan juga berkontribusi terhadap kesakitan diabetes melitus dan komplikasinya. Diabetes dapat memengaruhi berbagai organ sistem dalam tubuh dalam jangka waktu tertentu yang disebut komplikasi. Komplikasi dari diabetes dapat diklasifikasikan sebagai mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komplikasi mikrovaskuler termasuk kerusakan sistem saraf (neuropati), kerusakan sistem ginjal (nefropati) dan kerusakan mata (retinopati). Sedangkan, komplikasi makrovaskular termasuk penyakit jantung, stroke, dan penyakit pembuluh darah perifer. Penyakit pembuluh darah perifer dapat menyebabkan cedera yang sulit tidak sembuh, gangren, bahkan amputasi. Komplikasi yang lain termasuk kerusakan gigi, penurunan resistensi infeksi seperti influenza dan pneumonia, makrosomia dan komplikasi saat melahirkan. Komplikasi penyakit ini dikategorikan serius sehubungan dengan kemunculan penyakit kronis lain yang berbahaya seperti penyakit jantung, hipertensi, stroke, kebutaan akibat retinopati, glaukoma, katarak, gagal ginjal, impotensi pada pria serta kecacatan akibat luka yang sulit disembuhkan. Sekitar 83,3% penyandang diabetes melitus tipe dua yang dirawat di unit rawat inap RSUD Pasar Rebo mengalami komplikasi, dan pada lansia (> 60 tahun) komplikasi tersebut sekitar 94,6%. Pada usia lanjut, risiko diabetes melitus akan meningkat sehingga termasuk kelompok yang rentan terhadap kondisi ini (9).



C. Pencegahan dan Pengobatan terhadap Penyakit Diabetes Mellitus

Pengobatan DM pada prinsipnya adalah menjaga agar kadar glukosa darah dapat dipertahankan pada kondisi normal (80-120 mg/dl). Berbagai pilihan obat antidiabetes baik modern maupun tradisional telah dikenal di masyarakat. Di Indonesia, pengobatan DM secara tradisional adalah dengan memanfaatkan berbagai jenis tanaman obat yang memiliki kandungan bahan aktif yang dapat menurunkan kadar gula darah. Berbagai tanaman obat tersebut misalnya: Brotowali , Sambiloto, Mengkudu, Delima, Mahkota Dewa, dan Pare. Tanaman obat diabetes merupakan sumber mikroba potensial penghasil inhibitor alpha glukosidase. Dengan memperoleh isolat potensial dari tanaman obat tersebut, akan dapat memproduksi senyawa inhibitor alpha glukosidase untuk obat diabetes secara mikrobiologis, dengan jumlah yang lebih banyak, dan kualitas yang lebih baik. Salah satu cara kerja obat antidiabetes adalah menghambat pencernaan karbohidrat komplek (amilum) menjadi glukosa. sehingga asupan glukosa dari usus ke dalam darah dapat dikurangi. Senyawa aktif yang memiliki aktivitas seperti ini misalnya inhibitor alpha glukosidase. Senyawa inhibitor alpha glukosidase dapat dihasilkan oleh mikroba. Sebagai contoh adalah acarbose, suatu inhibitor alpha glukosidase yang dihasilkan oleh Actinoplanes sp., suatu mikroba yang diisolasi dari daerah di Kenya (10).

Diabetes Melitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapatkan penanganan yang seksama. Prevalensi DM semakin tahun semakin meningkat, terutama pada kelompok yang berisiko tinggi untuk mengalami penyakit DM, diantaranya yaitu kelompok usia dewasa tua (>40 tahun), kegemukan, tekanan darah tinggi, riwayat keluarga DM, dan dislipidemia. DM adalah penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, sehingga yang berperan dalam pengelolaannya tidak hanya dokter, perawat, dan ahli gizi, akan tetapi lebih penting lagi keikutsertaan pasien sendiri dan keluarganya. Penyuluhan kepada pasien dan keluarganya akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan mereka dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan DM. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui penatalaksanaan pasien DM Tipe II dengan pendekatan keluarga (11).

Selain konsumsi obat, perawatan utama penyakit ini adalah diet sehat dengan komposisi makanan yang seimbang. Namun, penyusunan diet bagi penderita Diabetes Mellitus sulit dilakukan karena memerlukan pengetahuan pakar, sedangkan jumlah pakar yang terbatas, sehingga diperlukan program bantu untuk mempermudah dan memberikan solusi alternatif bagi penderita untuk memperoleh diet yang sehat dan seimbang. Sistem untuk konsultasi menu diet bagi penderita Diabetes Mellitus berbasis aturan adalah salah satu alternatif dari berbagai macam sistem yang sudah pernah dipakai untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Tujuan rancang bangun sistem berbasis aturan ini adalah agar pemakai dapat melakukan konsultasi terhadap komposisi makanan dan diet seimbang untuk membantu proses penyembuhan yang diderita pasien. Perancangan sistem ini menggunakan rule based reasoning yang disimpan dalam basis data menggunakan mesin inferensi kedepan (forward chaining) dan aturan RSCM. Basis pengetahuan ini dihasilkan melalui wawancara dan studi pustaka kepada pakar atau ahli gizi yang telah berpengalaman di bidangnya. Hasil dari penelitian ini dapat mengetahui komposisi menu diet yang sesuai dengan jumlah kebutuhan kalori yang dibutuhkan pasien dengan tingkat akurasi 100% (12).



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Diabetes merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya, yang berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan organ tubuh terutama pada mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Terdapat beberapa tipe diabetes yang diketahui dan umumnya disebabkan oleh suatu interaksi yang kompleks antara faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup. Pada umumnya dikenal 2 tipe diabetes, yaitu diabetes tipe 1 (tergantung insulin), dan diabetes tipe 2 (tidak tergantung insulin). Diabetes tipe 1 biasanya dimulai pada usia anak-anak sedangkan diabetes tipe 2 dimulai pada usia dewasa.

Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Jumlah penderita diabetes di Indonesia setiap tahun meningkat. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia.


B. Saran

Setelah mengetahui apa itu DM (Diabetes Mellitus), maka tentulah kitabisa lebih menjaga pola kesehatan dengan makan-makanan yang sehat dan berolah raga teratur.




DAFTAR PUSTAKA

1. Andriani, A. Sistem Prediksi Penyakit Diabetes Berbasis Decision Tree. Jurnal Manajemen Informatika AMIK BSI Jakarta. 1 (1). 2013

2. Yunita N, Ana Y, Gesnita N. PENGETAHUAN PASIEN TENTANG DIABETES DAN OBAT ANTIDIABETES ORAL. Jurnal Farmasi Indonesia Fakultas Farmasi Universitas Airlangga 6 (1) : 38-47. 2012 

3. Totok B, Febrina N. PENGARUH DURASI SENAM DIABETES MELITUS PADA PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PENDERITA DM TIPE II. Jurnal Kesehatan Program Studi Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan UMS. 4 (2) : 143-153. 2011

4. Budi C, Rosa D, Joko P. SISTEM DIAGNOSA PENYAKIT DIABETES MELLITUS MENGGUNAKAN METODE CEERTAINTY FACTOR. Jurnal Fakultas Teknologi Informasi,Universitas Kristen Duta Wacana. 1 (1). 2013

5. Wicaksono. DIABETES MELLITUS TIPE II GULA DARAH TIDAK TERKONTROL DENGAN KOMPLIKASI NEUROPATI DIABETIKUM. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. 1 (3). 2013

6. Maria S, Siti R, Hairani D, Arneliwati. HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN SIKAP PERAWAT TENTANG PERAWATAN LUKA DIABETES MENGGUNAKAN TEKNIK MOIST WOUND HEALING. Jurnal Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau. 1 (2). 2011

7. Indra W H, Aman B, Bambang T, Jose R.L. Komplikasi Jangka Pendek dan Jangka Panjang Diabetes Mellitus Tipe 1. Jurnal kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 10 (6). 2009

8. Witasari U, Rahmawaty S, Zulaeka S. HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN, ASUPAN KARBOHIDRAT DAN SERAT DENGAN PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi . Program Studi Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah. 10 (2) : 130 – 138. 2009

9. Rizky D, Isnanto R, Hidayatno A. KLASIFIKASI PENYAKIT DIABETES MELITUS BERDASAR CITRA RETINA MENGGUNAKAN PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN. Jurnal TRANSIENT Jurusan Teknik Elektro, Universitas Diponegoro Semarang. 2 (3). 2013

10. Pujiyanto S, Ferniah R. Aktifitas Inhibitor Alpha-Glukosidase Bakteri Endofit PR-3 yang Diisolasi dari Tanaman Pare (momordica charantia ). Jurnal BIOMA Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA Undip. 12 (1) : 1-5. 2010 

11. Wicaksono. DIABETES MELITUS TIPE II PADA IBU RUMAH TANGGA DENGAN PENGETAHUAN YANG KURANG TENTANG DIABETES DAN AKTIVITAS FISIK KURANG TERATUR. Jurnnal Medula Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. 1 (1). 2013

12. Indra Perwira R. SISTEM UNTUK KONSULTASI MENU DIET BAGI PENDERITA DIABETES MELLITUS BERBASIS ATURAN. Jurnal Teknologi Teknik Informatika, Fakultas Teknik Industri Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. 5 (2) 104-113. 2012


KRITIK BERITA ISU STRATEGIS KESEHATAN BILA MENJADI PEJABAT KESEHATAN

MENGKRITIK BERITA ISU STRATEGIS KESEHATAN 
BILA MENJADI PEJABAT KESEHATAN


Berita Utama :

Menuju Pelayanan Prima “RSUD Damanhuri Berbenah”


BARABAI, Kalimantan Selatan- Kecuali kasus subspesialistis, manajemen baru RSUD H Damanhuri Barabai berjanji tidak merujuk pasien serta menjamin stok obat cukup. Itulah langkah awal mewarnai pekerjaan berat dan amanah pejabat baru untuk menciptakan rumah sakit kebanggaan bumi Murakata menuju pelayanan baru. Komitmen itu termasuk mencukupi semua pelayanan 4 dasar seperti anak, bidan, bedah, dan penyakit dalam. Targetnya, 6 bulan, rumah sakit plat merah berubah menjadi tipe B secara terakreditasi. Itulah sekelimit masalah besar yang membuat Bupati HST Dr H. Harun Nurasid bergerak cepat dan mengambil langkah yang tak lazim yakni mengangkat Mayor Ckm dr Mochammad Afid Ayanto, Sp.OG sebagai direktur baru. Target yang menguntungkan masyarakat itu sulit tercapai tanpa dukungan dari hati semua pihak yang terlibat dalam pembenahan rumah sakit. Dan, tidak ada lagi informasi pengkotak-kotakan di internal yang sangat mengganggu kualitas pelayanan. Direktur baru, Mayor Ckm dr Mochammad Afid Ayanto, Sp.OG akan menghindari pertentangan kepentingan (conflict of interest) dan saat bertugas lebih transfaran, jujur, objektif, akuntabel. Bahkan, dia siap menyampaikan informasi penyimpangan integritas rumah sakit. Lemahnya leadership di rumah sakit itu juga dijawab Afid Ayanto dengan komitmen memberikan contoh konsisten serta berperan aktif mencegah KKN dan perbuatan tercela. Sedangkan Bupati HST Dr H Harun Nurasid memaparkan, pejabat baru harus menciptakan harmoninasi serta menghindari gesekan yang tidak bermanfaat. Harun berharap, semua mendukung langsung dari hati termasuk dokter dan tim medis. “Bangun komunikasi agar tambah kokoh, perbaiki dan benahi kekurangan, manajemen yang baik pasti bisa menggerakan pelayanan untuk mengikis catatan masalah,” kata Bupati HST H Harun Nurasid. Harun mengaku sangat lama mengamati rumah sakit. Awalnya, ujar Harun, berniat mengangkat seorang direktur dari internal HST. Karena ada sesuatu yang penting untuk dibenahi, sehingga sulit terealisasi. Salah satu usaha berbicara dan memohon kepada Panglima Komando Daerah Militer VI/Mulawarman untuk mengirimkan salah satu anggotanya. Kebetulan, RSUD H Damanhuri Barabai sudah BLUD yang membolehkan direktur berasal dari PNS atau swasta asalkan punya kompetensi. “Apalagi M Afid Ayanto berpengalaman bertugas di berbagai rumah sakit, salah satunya di wilayah konflik seperti Poso. Dia telah melewati proses fit and proper test, moga usaha dan langkah yang kami ambil ini tepat,” pungkasnya. Dani, salah satu warga Manjang Barabai berharap, tidak ada lagi pasien yang dirujuk serta informasi kelangkaan obat sehingga harus menebus ke luar. Bila komitmen itu benar, yang diuntungkan masyarakat banyak yang selama ini sangat membutuhkan pelayanan prima.


Kritik :

         Secara umum, pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang peduli dan terpusat pada kebutuhan serta harapan pelanggan. Sementara itu, nilai-nilai pelanggan menjadi titik tolak penyediaan pelayanan kesehatan dan menjadi persyaratan yang harus dapat dipenuhi. Ini yang berusaha kami perbaiki. Kami bertekad untuk meningkatkan akreditasi RSUD Barabai ini menjadi lebih baik. Sarana Infrastruktur akan lebih ditingkatkan serta yang tak kalah penting tentu tidak adanya lagi unsur KKN, kami akan berusaha untuk membuat segala kebijakan dan pengambilan keputusan secara lebih transparan, jujur, objektif dan akuntabel. Dimana tidak ada pembedaan golongan, ras,suku, agama, dan tingkat ekonomi.
          Masalah lemahnya leadership di RSUD Barabai ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi kami dan saya selaku pejabat kesehatan, tidak mudah memang memilih seseorang untuk memimpin RSUD ini yang diharapkan dapat bekerja secara professional. Akan tetapi dengan terpilihnya Mayor Ckm dr Mochammad Afid Ayanto, Sp.OG, yang diketahui juga sudah punya banyak pengalaman dalam memanajemen instansi kesehatan, beliau pasti akan berusaha memberikan yang terbaik untuk kemajuan RSUD ini. Beliau diharapkan dapat memimpin RSUD Damanhuri Barabai ini menjadi lebih bagus, baikdalam hal pelayanan,infrastruktur yang memadai, sarana dan prasana yang lengkap, dan tidak adanya pembedaan pelayanan. Dari segi kinerja pelayanan kesehatan, baik dalam pelayanan dasar (di puskesmas dan jaringannya) maupun pelayanan rujukan (rumah sakit). Kalau kita lihat kebelakang, upaya perbaikan mutu dan kinerja pelayanan kesehatan di Indonesia telah mulai dilakukan sejak tahun 1986 dengan diterapkannnya gugus kendali mutu di rumah sakit dan puskesmas serta pada pelayanan kesehatan yang lainnya.
       Perbaikan ini dilanjutkan dengan dikenalkannya toal quality management di tahun 1994 dan performance management pada tahun 1996. Untuk pelayanan kesehatan dasar di puskesmas, dikenalkan program jaminan mutu (quality assurance) pada tahun 1995 di provinsi Jawa Barat, jawa Timur dan lainnya melalui proyek kesehatan IV. Empat standart pelayanan telah disusun melalui program jaminan mutu tersebut, yaitu satndar penanganan diare, standar pelayanan imunisasi, standar penangananinfeksi saluran nafas atas, dan standar pelayanan antenatal, dalam bentuk lembar periksa yang harus diikuti oleh petugas pelayanan kesehatan di puskesmas. Upaya perbaikan mutu semakin berkembang pada tahun 1998 yang difasilitasi melalui proyek kesehatan V yang melanjutkan upaya perbaikan mutu yang telah dirintis sebelumnya dengan berbagai inovasi serta diperkenalkannya manajemen kinerja (performance management) yang tidak hanya menekankan pada perbaikan proses saja, tetapi juga dengan pengukuran indicator kinerja sebagai dasar untuk melakukan perbaikan proses yang berkesinambungan. Kita mengenal program akreditasi rumah sakit, dimana pada awalnya tahun 1995  dilakukan untuk 5 jenis pelayanan, dan tahun 1997, program diperluas menjadi 12 pelayanan, dan tahun 2000 dikembangkan instrument 16 bidang pelayanan untuk menilai kedua puluh proses pelayanan di rumah sakit.
          Disamping akreditasi, penerapan sistem manajemen mutu mengikuti standar ISO 9001:2000 mulai dilakukan juga di puskesmas dan rumah sakit sejak tahun 2003. Hal tersebut untuk menjawab tuntutan global. Dari uraian yang telah disebutkan diatas, saya berkaca pada perkembangan dalam hal mutu perbaikan pada instansi Kesehatan di Indonesia, bukan hanya di RSUD Barabai ini, tapi juga instansi lainnya yang juga sangat vital yakni Puskesmas Barabai. Untuk melakukan perbaikan mutu pelayanan kesehatan tersebut, saya tentu perlu untuk memperhatikan empat hal tingkat perubahan, diantaranya :  Pengalaman pasien dan masyarakat, Sistem mikro pelayanan, Sistem organisasi pelayanan kesehatan, dan  Lingkungan pelayanan kesehatan. Di samping harus memiliki tujuan yang jelas dan komprehensif, pelayanan kesehatan harus berfokus pada pelanggan.
          Lingkungan pelayanan yang harmonis dan berseih dalam artian sikap maka tentu akan memberikan kepuasan pada pasien. System organisasi yang sistematis dan terstruktur dengan baik juga harus diperhatikan. Para staff dan coordinator harus bertanggung jawab penuh pada kewajiban yang diemban. Saya juga akan memilih para orang – orang penanggung kewajiban yang handal dan professional di bidangnya dalam memperbaiki mutu instansi ini agar lebih baik lagi. Pengalaman pasien dan masyarakat yang menjadi pelanggan pelayanan kesehatan harus mendapat perhatian utama sehingga kebutuhan, harapan, dan nilai pelanggan dapat dipenuhi oleh organisasi pelayanan kesehatan.
          Pengelolaan terhadap pengalaman pelanggan dapat terlaksana dengan baik jika dilakukan perubahan dan perbaikan pada sistem mikro pelayanan, sistem organisasi pelayanan kesehatan, dan lingkungannya. Sistem mikro merupakan unit kerja terdepan dalam organisasi yang memberikan pelayanan yang langsung dirasakan dan dialami oleh pasien dan masyarakat.  Pelayanan kesehatan pada sistem mikro diharapkan dilaksanakan menggunakan bukti terkini yang tersedia. focus pada pelanggan, berupa sistem pelayanan yang terkoordinasi dengan baik, terintegrasi dan efisien, serta sederhana dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat.  Seperti yang dijelaskan Berwick (2002) bahwa ada 10 aturan dasar dalam pelayanan pelanggan, yaitu : Hubungan yang berkesinambungan dengan pelanggan, Pelayanan yang customized terhadap kebutuhan, nilai dan harapan pelanggan, Pelanggan sebagai sumber pengendali, Keterbukaan informasi pada pelanggan, Pengambilan keputusan berdasar bukti, Memberikan jaminan keamanan,Transparan, Kebutuhan pelanggan senantiasa diantisipasi, Efisien, dan Kerjasama antar petugas kesehatan merupakan prioritas.

          Bukan hanya masalah pelayanan yang musti di rombak, tetapi tentu fasilitas yang lebih memadai. Sarana alat – alat penunjang kesehatan tentu lebih di lengkapi dan di perbaiki. Obat – obatan standar harus sudah tersedia dan diharapkan tidak ada lagi pasien yang membeli obat di luar, hal ini juga seperti keluhan kebanyakan pasien. Juga tenaga para medis juga harus punya kompetensi standar yang bukan hanya professional tapi juga bermoral sesuai dengan tugasnya sebagai tenaga kesehatan. Jangan sampai misalnya ada seorang tenaga medis yang dalam pelayanan pada pasien tidak punya etika dengan berprilaku tidak sopan dan bahkan ada yang sampai menelantarkan pasien.

          Saya juga akan membuat kebijakan yang lebih ketat untuk aspek pelayanan dan kompensi tenaga medis. Karena hal ini saling berhubungan dan aspek vital dalam kemajuan akreditasi sebuah Rumah Sakit. Selain itu, kebersihan Rumah Sakit tidak dapat diremehkan dan bahkan merupakan aspek penting. Tenaga kebersihan perlu diperbanyak. Taman – taman sehat juga perlu di lestarikan dan dibina dengan baik.

          Untuk KKN, perlu di buat kebijakan yang lebih ‘mematikan’ agar tidak adanya sebuah dinasti dalam kepemimpinan di sebuah Rumah Sakit, tapi harusnya seorang yang kompeten di bidangnya yang harus memimpin. Saya sebagai pejabat kesehatan, akan semaksimal mungkin dalam kinerja perbaikan ini, saya optimis RSUD Barabai dan di Puskemasnya sendiri akan memberikan pelayanan terbaik pada masyarakat dalam hal kesehatan.


REFERENSI 

sumber berita :  Menuju Pelayanan Prima “RSUD Damanhuri Berbenah”

TINJAUAN PUSTAKA : PENYAKIT MENULAR FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA)

MAKALAH TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT MENULAR FLU BURUNG (AVIAN INFLUENZA)


 

       OLEH 
       KELOMPOK 11
   MUHAMMAD ATTIJANI                                      I1A114078
   IZAL PUJI SANTOSO                                            I1A114211
  INDRA MAULANA SUSARIANTO                     I1A114072
  SARTIKA BESTARINI SARI                                I1A114055
   NUR AFNY ABDILLA                                           I1A114046
   KHUSNUL KHOTIMAH                                        I1A114023
  CITRA PERTIWI ANWAR                                     I1A114209
   ROSIDAH                                                                I1A114212
   SITI NUR AISYAH                                                 I1A114236
    NOVIA  DEWI                                                         I1A114084

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
 2014



BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang



    Berbagai jenis penyakit saat ini semakin banyak muncul. Salah satu penyebabnya adalah gaya hidup dan lingkungan yang semakin tidak sehat. Secara umum ada dua jenis penyakit, yaitu penyakit menular dan tidak menular. Dalam kelompok penyakit menular ada yang ringan dan ada yang berat. Yang ringan misalnya influenza dan diare. Sedangkan yang berat seperti HIV/AIDS, polio, demam berdarah, campak, TBC, malaria, flu burung, SARS, dan sederet penyakit lainnya. Menular atau tidaknya suatu penyakit tetap harus diwaspadai dan tidak boleh dianggap remeh, karena ketika seseorang terkena suatu penyakit aktivitas kehidupannya akan terganggu. Apalagi jika penyakitnya sudah parah, bisa mengakibatkan kematian . salah satu penyakit menular yang mematikan adalah flu burung (avian influenza). Wabah penyakit flu burung yang melanda dunia, khususnya kawasan Asia, memang sangat menjadi perhatian, baik masyarakat luas maupun badan kesehatan dunia seperti WHO. Hal ini disebabkan oleh flu burung yang dapat menular pada manusia dan berakibat fatal karena dapat membawa kematian. Kasusnya sangat gencar diberitakan diberbagai media massa sehingga membuat resah banyak pihak. Bahkan, World Health Organization (WHO) mengkhawatirkan virus flu burung akan menjadi ancaman serius di kawasan Asia melebihi tsunami yang pernah terjadi pada akhir 2004 di Aceh, Thailand, Bangladesh, Sri langka, dan India (1).

    Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun ikut memperingatkan bahwa flu burung lebih berbahaya dari penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), karena virus flu burung mampu menekan sistem imunitas tubuh manusia. Pada awal tahun 1918, wabah pandemik virus influenza telah membunuh lebih dari 40.000 orang, dimana subtipe yang mewabah saat itu adalah virus H1N1 yang dikenal dengan “Spanish Flu”. Tahun 1957 virus bermutasi menjadi H2N2 atau “Asian Flu” menyebabkan 100.000 kematian. Tahun 1968 virus bermutasi menjadi H3N2 atau “Hongkong Flu” menyebabkan 700.000 kematian. Akhirnya pada tahun 1997, virus bermutasi lagi menjadi H5N1 atau “Avian influenza” Di Asia Tenggara kebanyakan kasus flu burung terjadi pada jalur transportasi atau peternakan unggas sebagai jalur migrasi burung liar. Hingga 6 Juni 2007, WHO telah mencatat sebanyak 310 kasus dengan 189 kematian pada manusia yang disebabkan virus ini termasuk Indonesia dengan 99 kasus dengan 79 kematian. Hal ini dipengaruhi oleh mata pencaharian sebagian penduduk Indonesia sebagai peternak unggas, sehingga Indonesia rawan terhadap penyebaran penyakit flu burung. Selain itu, Kurangnya pengetahuan sebagian penduduk Indonesia tentang flu burung ikut pula mempengaruhi laju penyebaran flu burung (1).


B. Rumusan Masalah

Terdapat beberapa rumusan masalah berdasarkan latar belakang tersebut, yakni :

1. Apa itu flu burung ?

2. Apakah penyebab dari penyakit flu burung?

3. Bagaimana pencegahan dari penyakit flu burung?


C. Tujuan 

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan terkini mengenai flu burung dan cara pencegahannya.



BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi dan Kasus–kasus Flu Burung (Avian Influenza)
     Flu Burung adalah penyakit influenza pada unggas, baik burung, bebek,ayam, serta beberapa binatang lain seperti babi. Penyebab flu burung adalah virus Influenza, yang termasuk tipe A subtype H5, H7, dan H9. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 sebagai wabah yang menjangkiti ayam dan burung di Italia, yang disebut juga sebagai “Penyakit Lombardia” mengikuti nama sebuah daerah lembah di hulu sungai Po. Meskipun di tahun 1901 Centanini dan Savonucci berhasil mengidentikfikasi organisme mikro yang menjadi penyebab penyakit tersebut, baru di tahun 1955 Schafer dapat menunjukkan ciri-ciri organisme itu sebagai virus influensa A. Dalam penjamu alami yang menjadi reservoir virus flu burung, yaitu burung-burung liar, infeksi yang terjadi biasanya berlangsung tanpa gejala (asimtomatik) karena virus influensa A itu dari jenis yang berpatogenisitas rendah dan hidup bersama secara seimbang dengan penjamu-penjamu tersebut (1).

    Ketika turunan (strain) virus influensa unggas berpatogenisitas rendah (Low Pathogenic Avian Influenza Virus, LPAIV) ditularkan dari unggas “resorvoir” ke ternak unggas yang rentan, seperti ayam dan kalkun (sebuah pijakan untuk penularan lintas spesies), pada umumnya hewan-hewan itu hanya menunjukkan gejala-gejala yang ringan. Tetapi ketika spesies unggas tersebut menjadi sebab dari terjadinya beberapa siklus penularan, turunan (strain) virus tersebut dapat mengalami serangkaian mutasi yang beradaptasi dengan penjamunya yang baru. Virus influensa A subtipe H5 dan H7 bukan saja mengalami fase adaptasi dengan penjamu tetapi dapat pula berubah secara meloncat melalui mutasi insersi menjadi bentuk yang sangat patogen (Hinghly Pathogenic Avian Influenza Virus, HPAIV), yang mampu menimbulkan penyakit sistemik yang ganas dan mematikan secara cepat. Virus jenis HPAI tersebut dapat muncul secara tidak terduga dan sebagai tipe yang sama sekali baru (de novo) dalam unggas yang terkena infeksi oleh progenitor LPAI dari jenis subtipe H5 dan H7. Infeksi oleh virus HPAI pada unggas ditandai dengan gejala yang mendadak, berat dan berlangsung singkat, dengan mortalitas mendekati 100% pada spesies yang rentan. Akibat kerugian ekonomis yang sangat besar terhadap industri ternak unggas, HPAI mendapat perhatian yang sangat besar di kalangan kedokteran hewan dunia dan segera diberlakukan sebagai penyakit yang wajib segera dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Karena potensinya untuk dapat menurunkan HPAIV, penyakit LPAI dari subtipe H5 dan H7 juga dikenakan wajib dilaporkan (OIE 2005). Sebelum tahun 1997, HPAI merupakan penyakit yang sangat jarang terjadi, dengan hanya ada 24 kejadian primer yang dicatat di seluruh dunia sejak tahun 1950-an. Tetapi akhir-akhir ini influenza unggas memperoleh perhatian dunia ketika ditemukan ada strain (turunan) dari subtipe H5N1 yang sangat patogen, yang mungkin sudah muncul di China Selatan sebelum tahun 1997, menyerang ternak unggas di seluruh Asia Tenggara dan secara tidak terduga melintasi batas antar kelas ketika terjadi penularan dari burung ke mamalia. Akhir tahun 2003 flu burung mulai merebak di Asia tetapi baru diberitakan awal tahun 2004. Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus avian infuenza jenis H5N1 pada unggas dikonfirmasikan telah terjadi di Republik Korea, Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, China, Indonesia dan Pakistan. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinfeksi (2).

     Di Indonesia pada bulan Januari 2004 di laporkan adanya kasus kematian ayam ternak yang luar biasa (terutama di Bali, Botabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Jawa Barat). Awalnya kematian tersebut disebabkan oleh karena virus new castle, namun konfirmasi terakhir oleh Departemen Pertanian disebabkan oleh virus flu burung (Avian influenza (AI)). Jumlah unggas yang mati akibat wabah penyakit flu burung di 10 propinsi di Indonesia sangat besar yaitu 3.842.275 ekor (4,77%) dan yang paling tinggi jumlah kematiannya adalah propinsi Jawa Barat (1.541.427 ekor). Pada bulan Juli 2005, penyakit flu burung telah merenggut tiga orang nyawa warga Tangerang Banten, Hal ini didasarkan pada hasil pemeriksaan laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes Jakarta dan laboratorium rujukan WHO di Hongkong. Pada bulan Juli 2005 ditemukan untuk pertama kali di Indonesia kasus flu burung pada manusia. Indonesia menyusul Thailand, Vietnam, dan Kamboja yang sudah terlebih dahulu melaporkan terjadinya infeksi flu burung subtipe H5N1 pada manusia. Kematian pasien flu burung di Bengkulu pada tahun 2012 lalu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah korban H5N1 tertinggi di dunia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia, WHO (3).

     Menurut WHO, dari 349 kematian akibat flu burung di seluruh dunia sejak 2003 hingga 2012, ada 155 diantaranya terjadi di Indonesia dan hampir 80 persen berakhir dengan kematian. (4)

     Selama tahun 2014 ini sudah ada dua kasus flu burung H5N1 pada manusia yang dilaporkan di Indonesia yakni satu kasus terjadi di Jawa Tengah pada bulan April dan satu kasus di Jakarta pada bulan Juni ini. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan melalui media Republika pada 18 Juni 2014 bahwa selama bulan April-Juni 2014 baru negara Indonesia yang melaporkan adanya kasus flu burung H5N1 pada manusia. Meskipun demikian, kalau dari tren epidemiologi yang ada maka ‎diperkirakan tidak akan ada peningkatan kasus berarti, baik di dunia maupun juga di Indonesia. Lebih lanjut dia mengatakan pola transmisi flu burung juga sejauh ini belum berubah‎, dimana penularan tidaklah terlalu mudah terjadi. Kasus H5N1 yang terjadi di bulan Juni ini dialami oleh Reza Ahmadi (33 tahun) meninggal di RS Islam Pondok Kopi. Memang berdasarkan pemeriksaan di Laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan adalah konfirm H5N1 dengan realtime dan konvensional PCR. Dengan demikian kasus Flu Burung (H5N1) di dunia yang telah dilaporkan sejak Januari hingga Juni tahun 2014 berasal dari lima negara yakni: Kamboja sembilan kasus, Mesir dua kasus, Indonesia dua kasus, Vietnam dua kasus dan China dua kasus. Selanjutnya secara total ada 666 kasus flu burung (H5N1) yang terkonfirmasi laboratorium di dunia dari 15 negara, 393 diantaranya (59 persen) meninggal dunia. Berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium negara terbanyak melaporkan kasus flu burung (H5N1) di dunia sebagai berikut: Indonesia 197 kasus, Mesir 175 kasus, Vietnam 127 kasus, Kamboja 56 kasus dan China 47 kasus (5).

    Selain virus flu burung H5N1 yang telah banyak menyebabkan kematian di dunia, Virus baru flu burung mengancam Cina, dari tahun 2013 sudah sembilan orang terjangkit virus dan empat di antaranya dinyatakan meninggal dunia. Dua orang merupakan warga Shanghai. Virus yang mewabah kali ini merupakan virus jenis baru yaitu H7N9, berbeda dengan H5N1 yang beberapa waktu silam sempat menggegerkan dan merenggut banyak korban dari seluruh dunia. Virus H7N9 ini belum pernah diketahui menyebabkan penyakit pada manusia karena umumnya hanya mengancam burung. Penelitian terbaru yang dipublikasikan melalui Journal of Virology mengungkapkan bahwa strain H7 merupakan keluarga dari virus flu yang telah menyebabkan lebih dari 100 kasus infeksi pada manusia selama dekade terakhir. Tahun 2003, wabah H7N7 sempat menghantui Belanda dan menyebabkan 89 orang terinfeksi serta satu orang meninggal dunia. Huruf "H" dan "N" yang tertera pada nama virus mengacu pada hemagglutinin dan neuraminidase, merupakan protein pada permukaan virus. Lebih lanjut, Richard Webby, ahli flu burung dan peneliti penyakit infeksi di St Jude Children Research Hospital, menjelaskan, terdapat 16 jenis hemagglutinin dan sembilan jenis neuraminidase (6).

  Gejala-gejala yang ditimbulkan bila seseorang terinfeksi virus H7 yaitu mengalami infeksi saluran pernapasan berlanjut ke pneumonia. Di masa lalu, virus H7 juga dapat menyebabkan konjungtivitas atau infeksi mata, namun tidak menular antar orang. Para ahli sejak lama takut virus itu akan bermutasi menjadi bentuk yang bisa dengan mudah berpindah dari satu manusia ke manusia lain. Dalam studi terbaru tahun 2013 ini, Chang-jun Bao dari Pusat Pencegahan dan Kontrol Penyakit di provinsi Jiangsu, Cina melaporkan kasus yang menimpa seorang laki-laki berusia 60 tahun yang meninggal di rumah sakit setelah terpapar virus H7N9, yang kelihatannya telah ia tularkan kepada anak perempuannya. Perempuan berusia 32 tahun yang telah merawat ayahnya lebih dari satu pekan itu, juga akhirnya meninggal di rumah sakit. Ia diketahui tidak punya akses untuk berpotensi tertular dari unggas, yang membawa para penyelidik menyimpulkan bahwa “penjelasan yang paling mungkin“ untuk penyakitnya adalah transmisi virus secara langsung dari ayahnya, yang secara rutin mengunjungi pasar unggas hidup. Selain paparan sekresi pernafasan dari ayahnya selama ia merawat, anak perempuan itu tidak terkena paparan dari unggas atau sumber infeksi lainnya. Uji genetik atas sampel virus dari dua pasien itu juga terungkap “hampir identik”. Meskipun bukti ini menunjukkan penularan langsung, namun kemampuan virus untuk berpindah antar manusia “terbatas dan tidak berkelanjutan,“ demikian diungkapkan oleh artikel di jurnal tersebut. Tak ada dari 43 orang yang memiliki kontak dekat dengan kedua pasien itu, termasuk para staf rumah sakit, yang terjangkit. Temuan ini menujukkan bahwa kerentanan genetik mungkin berpotensi menjadi salah satu faktor penentu dan bahwa virus avian influenza lebih mudah menular antar individu yang memiliki kaitan genetic (7).

      Pasar unggas berperan sebagai tempat penularan/transmisi virus antar spesies karena bila ada unggas yang subklinis Avian influenza, yaitu unggas terinfeksi virus Avian influenza tetapi tidak menunjukkan gejala klinis maka oleh masyarakat unggas tersebut dianggap sehat. Selama penjualan unggas subklinis tersebut menyebarkan virus ke lingkungan sehingga menyebabkan hewan lain terpapar. Beberapa pasar unggas di Pulau Jawa terkontaminasi virus Avian influenza yang mencapai 50%. Hasil riset ini mendukung hipotesis bahwa virus Avian influenza telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Hot spot (contaminated area) flu burung di wilayah lainnya sebesar 7,16% serum ayam buras rakyat yang terdapat di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat positif mengandung antibodi terhadap virus Avian influenza. Penelitian juga membuktikan 0,84% bahwa serum dari ayam yang tidak divaksin menunjukkan hasil positif terhadap Avian influenza di Kalimantan (8).


B. Gejala dan Penyebab Flu Burung

Virus influenza adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat panjang, merupakan genome RNA rangkaian tunggal dengan jumlah lipatan tersegmentasi sampai mencapai delapan lipatan, dan berpolaritas negatif. Virus influensa merupakan nama generik dalam keluarga Orthomyxoviridae dan diklasifikasikan dalam tipe A, B atau C berdasarkan perbedaan sifat antigenik dari nucleoprotein dan matrix proteinnya. Virus influensa unggas (Avian Influenza Viruses, AIV) termasuk tipe A. Telaahan yang sangat bagus mengenai struktur dan pola replikasi virus-virus influensa sudah dipublikasikan baru-baru ini Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku dan tindakan seseorang oleh karena itu pengetahuan masyarakat dalam kaitannya dengan penyebaran penyakit flu burung sangat penting untuk melihat sejauh mana pengetahuan mereka tentang penyebab, cara penularan dan pencegahan penyakit flu burung agar terhindar kemungkinan terjangkit penyakit flu burung. Faktor kebersihan lingkungan kandang dan personil kandang adalah salah satu bagian biosekuriti dan merupakan aspek potensial yang mempengaruhi kemungkinan masuknya agen penyakit ke dalam peternakan. Penyebaran virus flu burung antar kandang dapat dikurangi dengan selalu menjaga kebersihan kandang beserta peralatannya, apalagi jika selalu menggunakan desinfektan yang tepat7. Pergerakan orang seperti peternak, Dokter Hewan, maupun tamu di peternakan merupakan salah satu faktor penyebaran virus flu burung antar kandang. Menurut Marangon dan Capua (2005), analisis yang dilakukan terhadap kasus wabah HPAI di Italia selama tahun 1999/2000 menunjukkan bahwa 9,4% penularan secara tidak langsung karena pertukaran karyawan, alat-alat dan lain-lain (9).

     Faktor jarak antar kandang di peternakan penting untuk diperhatikan karena semakin dekat jarak antar kandang juga akan meningkatkan risiko tertular penyakit jika peternakan tetangga terdekat terkena penyakit. Sebuah penelitian di Italia menunjukkan bahwa 26,2% kejadian flu burung dijumpai pada lingkungan dalam radius satu kilometer di seputar peternakan terserang. Ternak unggas dalam radius 5-6 kilometer dari lokasi positif flu burung harus terus diwaspadai. Sedangkan IEC dalam sebuah workshop di Hanoi menyatakan bahwa virus flu burung dapat ditularkan oleh burung atau hewan liar dalam radius 10 km dari lokasi positif flu burung, sehingga dalam radius tersebut dianggap sebagai zona tertular yang harus diwaspadai. Faktor sistem pemeliharaan tidak satu umur merupakan salah satu aspek potensial yang mempengaruhi kemungkinan penyebaran penyakit flu burung dalam peternakan. Salah satu langkah untuk penanggulangan penyebaran virus flu burung antar kandang adalah dengan menerapkan biosekuriti yang ketat, sistem pemeliharaan all-in all-out, selalu menjaga kebersihan kandang dan petugas kandang beserta peralatannya, serta menggunakan desinfektan yang tepat (10).

     Tanda dan gejala flu burung biasanya muncul dalam waktu dua sampai lima hari setelah infeksi. Dalam kebanyakan kasus, gejala flu burung mirip dengan gejala flu biasa seperti:

– Batuk

– Demam

– Sakit tenggorokan

– Nyeri otot

– Beberapa orang juga mengalami mual, muntah atau diare. Dalam beberapa kasus, infeksi mata ringan (konjungtivitis) merupakan satu-satunya indikasi infeksi flu burung.

     Flu burung terjadi secara alami diantara unggas air liar dan dapat menyebar ke unggas domestik, seperti ayam, kalkun, bebek dan angsa. Penyakit ini ditularkan melalui kontak dengan kotoran burung yang terinfeksi, atau kontak dengan sekresi dari hidung, mulut, atau mata unggas. Pasar terbuka, di mana telur dan daging unggas dijual bebas dalam lingkungan yang tidak higienis, merupakan sarang infeksi dan dapat menyebarkan penyakit ini ke masyarakat luas. Menurut Food and Drug Administration, flu burung tidak akan ditularkan melalui daging atau telur unggas terinfeksi yang sudah dimasak dengan benar. Daging unggas aman dikonsumsi jika sudah dimasak dengan suhu hingga 74 derajat Celsius. Agar aman, telur juga harus dimasak hingga matang betul (10).

     Unggas yang terinfeksi, mengeluarkan lendir dari mulut atau hidung atau kotorannya. Unggas-unggas yang lain rentan terkena kontaminasi karena mereka umumnya hidup berkelompok, sangat mudah untuk menularkan dari satu ke yang lain. Manusia lalu terinfeksi karena terjadi kontak dengan unggas yang sakit tersebut atau lingkungan yang telah terkontaminasi. Karena virus ini bisa menular bukan saja lewat barang yang telah terkontaminasi dengan kotoran unggas yang sakit, tapi juga melalui udara dan air (11).

      Unggas yang terkena flu burung akan ditandai dengan :

· mata menjadi putih (pada unggas / itik) 

· nafsu makan berkurang 

· lemas ; kejang ; jengger yang bengkak dan biru 

· leher terputar 

· bintik-bintik perdarahan di kaki 

· keluar cairan jernih sampai kental di mata, hidung dan mulut 

· mencret yang berlebihan 

· gangguan pernafasan 

· kematian.

     Sedangkan pada manusia setelah melewati masa inkubasi, antara 1 – 7 hari akan timbul gejala berikut :

· Demam tinggi (lebih dari 38 derajat Celsius) 

· Sakit kepala 

· Batuk-pilek 

· Sakit tenggorokan 

· Nyeri otot 

· Lemas 

· Kadang diare ;

· Radang paru akut (pneumonia) yang diiktui gagal pernafasan dan sering merupakan penyebab kematian.

    Gejala orang yang menderita flu burung memang mirip dengan penderita flu biasa, namun Infeksi flu burung dapat dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium baik melalui biakan virus maupun tes serologi. Sebagai bahan pemeriksaan ialah lendir mulut/hidung/tenggorokan dan kotoran (11).


C. Pencegahan terhadap Penyakit Flu Burung

Ada beberapa cara agar terhindardari penularan penyait flu burung,yakni :

1. Hindari berkunjung ke tempat peternakan/pemotongan/penjualan unggas

2. Hindari memelihara burung/unggas dekat rumah tinggal

3. Sering mencuci tangan dengan sabun atau antiseptik

4. Masak daging/telur unggas sampai suhu mencapai 80 derajat Celsius, minimal 1 menit.

5. Jalankan pola hidup sehat supaya daya tahan tubuh kuat

6. Vaksinasi

       Dari penelitan yang dilakukan oleh Murwanti dkk tahun 2013 lalu yang di publikasikan dalam Jurnalnya yang berjudul Studi Penyebaran Penyakit Flu Burung Melalui Kajian Dinamis Revisi Model Endemik SIRS Dengan Pemberian Vaksinasi Unggas bahwa Penyebaran penyakit flu burung dapat dikaji melalui model matematika melalui revisi model endemik SIRS dengan memperhatikan pemberian vaksinasi pada unggas. Penelitian dilakukan dengan merevisi kompartemen penyebaran penyakit tersebut yang selanjutnya digunakan untuk menentukan persamaan pembangun model yang direpresentasikan dalam sistem persamaan diferensial. Sistem tersebut menggambarkan interaksi antara kelompok manusia dan kelompok unggas. Analisa kestabilan sistem di kedua titik kritisnya dilakukan dengan menentukan nilai eigen sistem yang diperoleh dari determinan matriks jacobi linearisasi sistem di masing-masing titik kritis. Kestabilan sistem selanjutnya diamati dibidang (πœ‚,) yang dibagi oleh kurva parameter πœ‡π‘ = πœ‚. Kedua parameter tersebut secara berturut-turut menyatakan tingkat vaksinasi unggas dan tingkat kematian alami populasi unggas. Kestabilan di titik kritis kedua membutuhkan syarat bahwa tingkat kematian manusia karena flu burung (𝛼𝑛) harus lebih kecil dari tingkat kelompok manusia yang telah sembuh dari flu burung terjangkit penyakit kembali (𝛿). Hasil simulasi memperlihatkan bahwa penyebaran penyakit flu burung dapat diturunkan dengan program vaksinasi bila tingkat vaksinasi unggas lebih besar dari tingkat kematian alami unggas (12).

    Flu burung berpotensi menjadi wabah di dunia, namun metode untuk melawan penyakit akibat virus ini masih jauh dari harapan. Sejauh ini, FDA telah menyetujui penggunaan beberapa vaksin yang dapat mencegah flu burung, akan tetapi masing-masing vaksin tersebut hanya efektif untuk satu jenis strain virus. Suatu vaksin baru, yaitu vaksin DNA, diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih luas lagi. Penyakit flu burung (avian influenza), yang disebabkan oleh suatu varian virus H5N1, telah menjangkiti jutaan unggas di seluruh dunia. Virus ini bermutasi dengan cepat, dan telah menyebabkan 250 orang meninggal. "Semua orang takut bahwa virus ini akan bermutasi lagi sehingga dapat dengan mudah ditularkan dari satu orang ke orang yang lain, ini mungkin adalah ancaman wabah terbesar yang akan kita hadapi saat ini", kata David Ho, seorang guru besar pada Universitas Rockefeller. Kemampuan virus untuk cepat bermutasi ini merupakan faktor terpenting sulitnya melawan flu burung. Untuk mengatasi hal ini, Ho bersama koleganya melakukan penelitian terhadap vaksin baru yang diharapkan dapat melawan virus flu burung secara broad-acting. Vaksin ini dibuat dari DNA yang telah dimodifikasi secara genetis (12).

     Vaksin DNA memiliki berbagai keunggulan, yaitu lebih stabil, tahan lama, tidak perlu dibekukan, cepat dimodifikasikan, serta murah apabila ingin diproduksi massal. Akan tetapi vaksin DNA juga memiliki kekurangan, yaitu tidak efektif apabila disuntikkan secara biasa. Untuk mengatasi hal ini, Ho mengembangkan suatu metode elektroporasi, yaitu dengan cara mengkombinasikan vaksin dengan suatu rangsangan listrik kecil di lokasi suntikan. Pada uji tahap awal, metode ini berhasil meningkatkan asupan DNA oleh sel otot. Hasil percobaan vaksin DNA ini dilaporkan dalam edisi terbaru Proceedings of the National Academy of Sciences. "Tikus yang diberi injeksi vaksin DNA memiliki respon antibodi yang bagus terhadap berbagai jenis strain virus H5N1", kata Ho. "Ini adalah temuan yang menarik", kata Peter Palese, ketua jurusan mirobiologi pada Mount Sinai School of Medicine di New York. "Vaksin ini perlu dicobakan ke manusia". Hal yang membuat vaksin ini sangat menarik adalah kemampuannya untuk merangsang kekebalan terhadap beragam strain virus. Vaksin yang tersedia sekarang hanya terbatas untuk strain virus tertentu, masalahnya adalah bila virus bermutasi cepat, maka vaksin tersebut menjadi tidak efektif lagi. Vaksin yang baru ini diharapkan dapat mengatasi hal tersebut (12).

    Selain itu, Artina Prastiwi seorang mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta berhasil menemukan vaksin penghambat virus H5N1 (flu burung). Vaksin itu bukan berasal dari bahan kimia, tapi organik atau herbal dari ekstrak buah Mahkota Dewa (Phaleria Macrocarpa) yang dipublikasikan pada tahun 2011 lalu. Artina mengatakan bahwa ekstrak buah Mahkota Dewa mengandung senyawa saponin yang berfungsi untuk menghambat perkembangan virus flu burung. Senyawa itu dalam dosis yang tepat bisa menghambat virus mencapai 87 persen. Melalui beberapa kali penelitian, akhirnya ditemukan dosis yang tepat untuk menghambat virus tersebut secara efektif dalam diri unggas. Dari hasil penelitiannya, dosis yang tepat adalah 10 persen. Kadar saponin yang dibutuhkan untuk menghambat perkembangan virus tersebut adalah 10 miugram/mililiter (ml). Vaksin yang digunakan untuk disuntikkan ke unggas sendiri hanya 0,2 ml. Pada penelitian pertama menggunakan telur ayam berembrio yang telah diberikan virus flu burung. Telur tersebut kemudian disuntik beberapa dosis ekstrak mahkota dewa. Telur tersebut kemudian diinkubasi selama 35 hari, hasilnya embrio tidak mati, sehat dan tanpa bekas luka. Namun ketika konsentrasi dosis saponin di tingkatkan menjadi 15 hingga 20 persen semua embrio di telur tersebut mati. Terjadi perdarahan di seluruh tubuh, terjadi kekerdilan dan cairan alantois keruh. Ini membuktikan kadar saponin yang digunakan harus tepat karena kalau kelebihan mengakibatkan keracunan. Bila kurang juga tidak mampu menghambat laju virus.Setelah melalui uji beberapa kali, peneliti kemudian menguji pada unggas secara langsung dengan kadar 0,2 ml dalam satu dosis untuk unggas usia di bawah 21 hari dan ditambah menjadi 0,5 ml untuk unggas di atas usia 21 hari. Menurutnya, untuk mendapatkan buah mahkota dewa juga sangat mudah karena banyak ditemukan di wilayah DIY dan Jawa Tengah. Untuk menghasilkan vaksin flu burung dalam satu dosis tersebut (0,2 ml) dibutuhkan kulit buah Mahkota Dewa sebanyak 3 gram untuk kemudian diekstrak menjadi vaksin. Ekstrak itu masih harus dicampur dengan pelarut agar bisa cepat terserap dalam tubuh ungags. Dia mengharapkan vaksin flu burung organik bisa diproduksi secara massal. Sebab, vaksin yang beredar saat ini selain mengandung bahan kimia yang juga memberikan efek samping negatif pada unggas harganya cukup mahal. Untuk 100 dosis vaksin flu burung yang beredar saat ini harganya bisa mencapai Rp 200 ribu. Tetapi untuk vaksin herbal ini bisa dijual dengan harga Rp 75 ribu untuk setiap 100 dosisnya (13).

    Kasus AI di lapangan ternyata masih tetap ada meskipun telah dilakukan tindakan vaksinasi dan biosekuriti yang memadai. Pencegahan terhadap penyakit AI telah dilakukan dengan vaksinasi, baik menggunakan vaksin aktif maupun vaksin ianaktif. Vaksin yang terbaik adalah vaksin dengan kandungan agen yang sama dengan virus yang ada lapangan, di samping melakukan vaksinasi, upaya penanggulangan penyakit AI juga dengan program bioskuriti yang ketat. Langkah biosekuriti meliputi depopulasi unggas terutama pada daerah tertular didahului dengan stampling out, dilanjutkan dengan pengisian kembali kandang dengan ternak baru yang bebas dari penyakit AI. Pemantauan terhadap penyakit AI hendaknya dilakukan secara berkesinambungan disertai dengan penyuluhan yang berulang- ulang untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan bahaya penyakitnya. Langkah-langkah antisipasi perlu dilakukan untuk mencegah dampak buruk yang tidak diinginkan yang bisa berakibat fatal, berupa kematian ternak maupun kematian pada manusia. Pemahaman masyarakat akan penyakit AI sangat diperlukan dalam upaya mengatasi ancaman penyakit yang sangat berbahaya ini. Perlu diwaspadai pula bahwa proses penularan virus AI secara cepat banyak terjadi di pasar unggas akibat adanya kontak langsung antar unggas sakit dengan unggas yang sehat (6).



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

      Flu Burung adalah penyakit influenza pada unggas, baik burung, bebek,ayam, serta beberapa binatang lain seperti babi. Penyebab flu burung adalah virus Influenza, yang termasuk tipe A subtype H5, H7, dan H9. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 sebagai wabah yang menjangkiti ayam dan burung di Italia (Perroncito, 1878), Menurut WHO, dari 349 kematian akibat flu burung di seluruh dunia sejak 2003 hingga 2012, ada 155 diantaranya terjadi di Indonesia dan hampir 80 persen berakhir dengan kematian. Sejak terjadinya wabah Avian Influenza (Al) pada unggas di Indonesia yang dideklarasi pada bulan Januari 2004, kasus secara bertahap menurun cukup signifikan setiap tahun yakni th. 2007 = 2.751 kasus, th. 2008 = 1.413 kasus,th 2009 = 2293 kasus, th.2010 = 1502 kasus, th. 2011 = 1.411 kasus, th. 2012 = 546kasus dan th. 2013 = 477 kasus.

       Selain virus flu burung H5N1 yang telah banyak menyebabkan kematian di dunia, Virus baru flu burung mengancam Cina, dari tahun 2013 sudah sembilan orang terjangkit virus dan empat di antaranya dinyatakan meninggal dunia. Dua orang merupakan warga Shanghai. Virus yang mewabah kali ini merupakan virus jenis baru yaitu H7N9, berbeda dengan H5N1 yang beberapa waktu silam sempat menggegerkan dan merenggut banyak korban dari seluruh dunia. Virus H7N9 ini belum pernah diketahui menyebabkan penyakit pada manusia karena umumnya hanya mengancam burung. 

     Gejala orang yang menderita flu burung memang mirip dengan penderita flu biasa, namun Infeksi flu burung dapat dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium baik melalui biakan virus maupun tes serologi. Sebagai bahan pemeriksaan ialah lendir mulut/hidung/tenggorokan dan kotoran. 

       Ada beberapa cara agar terhindardari penularan penyait flu burung,yakni :

1. Hindari berkunjung ke tempat peternakan/pemotongan/penjualan unggas

2. Hindari memelihara burung/unggas dekat rumah tinggal

3. Sering mencuci tangan dengan sabun atau antiseptik

4. Masak daging/telur unggas sampai suhu mencapai 80 derajat Celsius, minimal 1 menit.

5. Jalankan pola hidup sehat supaya daya tahan tubuh kuat

6. Vaksinasi

     Kemampuan virus ini untuk cepat bermutasi merupakan faktor terpenting sulitnya melawan flu burung. Untuk mengatasi hal ini, beberapa peneliti bersama koleganya melakukan penelitian terhadap vaksin baru yang diharapkan dapat melawan virus flu burung secara broad-acting. Vaksin ini dibuat dari DNA yang telah dimodifikasi secara genetis dan adajuga yang terbuat dari ekstrak buah Naga yang ditemukan oleh seorang Mahasiswi Universitas Gadjah Mada. 


B. Saran

      Flu Burung merupakan penyakit menular yang mematikan dan sangat berbahaya, penyebarannya pun sangat cepat melalui unggas yang telah terjangkit virus Avian Influenza, bahkan ada penelitian dari Cina yang menyebutkan bahwa virus ini dapat menular dari manusia ke manusia lainnya yang punya kesamaan genetic,seperti ayah dan anak. Maka dari ituah perlunya lagi penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang penyakit flu burung ini agar penyebarannya tidak meluas dan tidak ada sampai menimbulkan korban jiwa, selain itu Peru juga diteliti mengenai vaksin yang lebih banyak lagi guna melawan virus yang berbahaya ini.